( Pikiran Rakyat, 6 Maret 2008 ). PAK Urip adalah nama salah seorang penarik becak di dekat tempat tinggal saya. Dia sudah 10 tahun lebih bekerja sebagai penarik becak. Belakangan, Pak Urip sering berkeluh kesah tentang harga kebutuhan pokok yang terus melambung tinggi. Sementara, usaha dari menarik becak tidak menentu. Paling banyak Rp 15.000,00 sehari. Uang sebesar itu digunakan untuk membeli beras dan lainnya sudah langsung habis. Dia tidak bisa menabung, apalagi beli baju baru. Tidak ada sisa uang, apa yang bisa ditabung?
Sesekali dia menyesali nama yang telah diberikan orang tuanya itu. Urip, sering disingkat jadi usaha ripuh. "Jadinya, usaha saya ripuh terus," kata Urip.
Kendati susah, saya melihat Urip tidak pernah melakukan perbuatan curang. Tidak jarang dia marah kalau melihat penarik becak yang ugal-ugalan atau sengaja menabrakkan becaknya ke mobil orang lain. Menabrakkan itu tentu dengan harapan untuk mendapatkan "ganti rugi" dari si pemilik mobil. Urip tidak senang, kalau ada penarik becak yang demikian. Urip tampil apa adanya, tidak serakah, jujur, dan memiliki solidaritas tinggi. Ia juga berusaha membangun citra penarik becak yang baik.
Sudah lama saya tidak bertemu dengan Pak Urip. Namun, nama dia kembali saya ingat sewaktu KPK, Minggu (2/3), menangkap seorang jaksa bernama Urip. Jaksa itu ditangkap karena diduga menerima suap sebesar Rp 6,1 miliar.
Sejenak, saya berusaha membandingkan antara Urip penarik becak dan Urip jaksa. Urip yang satu, sekali pun miskin, berusaha sabar serta memiliki keinginan kuat untuk menjaga citra profesinya. Tetapi, Urip yang satu lagi sepertinya tiak puas dengan kekayaan yang dimiliki.
Langkah Urip telah menampar citra kejaksaan. Tidak heran, kalau Jaksa Agung Hendarman Supandji menangis sedih. Hendarman benar-benar dipermalukan oleh Urip yang ini. Oleh ulah Urip, janji Jaksa Agung untuk mengedepankan program konsolidasi ke dalam dengan meningkatkan profesi jaksa, menjadi jauh panggang dari api.
Saya tidak tahu, apa latar belakangnya sampai Urip yang jaksa menerima suap. Apakah dia kesulitan ekonomi sebagaimana yang dialami Urip tukang becak? Kenapa Urip penarik becak mampu menahan diri agar tidak curang atau berbuat lain untuk menutupi kebutuhan hidupnya?
Jawabannya, saya kira, serakah. Karena keserakahan dan tidak puas dengan apa yang dimilikinyalah sehingga orang begitu mudah terjerat iming-iming uang. Sekarang, Urip harus mendekam di penjara. Dia tidak juga tak akan menikmati uang sebesar Rp 6 miliar itu.
Sekarang, harga diri Urip yang jaksa juga hancur, keluarganya tentu malu atas perbuatan itu. Sementara, Urip yang penarik becak, dia masih memiliki harga diri dan hidup bebas. Ayo, pilih jadi Urip yang mana? (Undang Sudrajat/"PR").
Komentar Mas guru :
Pilih Urip yang lain deh !!!
No comments:
Post a Comment