Tuesday, March 11, 2008

Memang,Untuk Menjadi Bodoh Itu Mahal

Mas Guru tersenyum kecut ketika membaca salah satu blog yang ada artkel berjudul Mau Bodoh Kok Bayar. Kalau dipikir-pikir, bener juga ya. Murid-murid kita bayar mahal sekadar untuk menjadi orang bodoh. Meski Undang-Undang Dasar kita mengamanatken bahwa tanggung-jawab pendidikan berada di pundak pemerintah, itu bukan berarti pendidikan bisa gratis di negeri ini. Meskipun itu sekolah-sekolah milik pemerintah. Malah, tak jarang sekolah negara tersebut taripnya lebih mahal dari sekolah partikelir. Saya juga ndak ngerti bagaimana sekolah negeri yang banyak mendapat dana dari pemerintah, terutama untuk gaji gurunya bisa lebih mahal dari sekolah partikelir. Mungkin saja memang dibutuhken manajer yang canggih untuk bisa berhitung seperti. Otak Mas Guru yang ndeso jelas ndak nutut diajak mikir manajemen.
Mengenai ihwal kebodohan yan diakibatken oleh model persekolahan kita, bisa dijelaskanken begini. Menurut para pakar, yang tak satu pun Mas Guru kenal, pendidikan mesti memenuhi setidaknya dua tujuan. Pertama, mengembangkan potensi-potensi yang dipunyai murid sesuai dengan bakat, minat dan tujuan-tujuan hidupnya. Kedua, membekali murid dengan berbagai hal untuk menyesuaiken diri dengan tuntutan lingkungan. Yang termasuk tujuan ini misalnya, memberi berbagai ketrampilan buat bekerja di dunia kerja; menanamken nilai-nilai dan moralitas untuk hidup di masyarakat; menyenangken hati guru, kepala diknas sampai menteri pendidikan dan laen-laen.
Sekolah kita tampaknya lebih mengutamaken tujuan ke dua bagian terakhir itu. Coba saja liat, murid dikataken pinter jika pandai menjadi beo. Dalam arti, mereka mendapat gelar pandai jika pandai meniru apa yang dikataken guru. Semakin persis jawaban yang mereka beriken dengan omongan guru, termasuk titik komanya, ketika dites oleh guru, maka dia dikataken semakin pinter. Kalo ndak bisa jadi beo, jangan pernah mengharap pridkat sebagai murid pinter.
Fenomena pembodohan semakin tampak menjelang unas kayak bulan-bulan ini. Bayangken, murid-murid kelas tiga , khususon kelas 3 SMA atau SMK, mestinya harus dipenuhi dengan bekal untuk hidup di tengah masyarakat atau bekal untuk terjun di dunia kerja. Tapi apa yang terjadi ?
Mereka setiap detik diperas otak dan waktunya untuk persiapan mengikuti proyek nasional yang bernama unas itu. Mau melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau langsung terjun ke dunia kerja setelah lulus, ndak peduli. Pokoknya harus mempersiapken diri untuk sukses di unas. Anak-anak dari keluarga mampu diikutken bimbingan belajar. Anak-anak keluarga santri sudah jauh-jauh hari dimintken barokah Pak Kiyai. Yang ndak mampu, cukup mengikuti les tambahan yang diadaken oleh sekolah. Perlu dicatat bahwa untuk les yang diadaken sekolah ini, orangtua murid diwajibken membayar biaya tambahan yang jumlahnya juga ndak kecil.
Nah, setelah mengikuti unas, yangndak lulus, dengan bebagai cara, toh akhirnya juga bisa dilulusken. Dan yang lulus, ada yang melanjutken sekolah ( bagi yang ortunya cukup duit ), ada pula yang langsung kerja atawa menjadi pengangguran ( bagi yang ortunya bokek). Untuk ngeliat bahwa sekolah kita lebih banyak menghasilken manusia-manusia bodoh, bisa diketahui dari lulusan yang ndak melanjutken ini.
Selepas sekolah, mereka ini riwa-riwi kesana kemari sembari menenteng map berisi lamaran kerja. di tempat yang dituju, mereka dites. Apa yang diteskan di tempat itu ternyata sama sekali tidak bersangkut dengan materi-materi yang dipersiapken menjelang unas. Jadi, setahun berada di kelas tiga hanya untuk kegiatan tiga hari ( waktu pelaksanaan unas). Setelah itu, ndak ada manfaat.
Yang sial adalah yang kebetulan ndak bisa diterima kerja dimana-mana. Karena ndak ada bekal dari sekolah untuk hidup mandiri, mereka jadi pengangguran. Mau berwiraswasta merasa ndak bakat, mau kerja serabutan gengsi, mau maling takut ketangkep polisi dan mau ngamen malu, mereka lebih suka plonga-plongo di pinggir jalan, menunggu barangkali ada ratu adil lewat, menyulap hidupnya jadi konglomerat.

1 comment:

Anonymous said...

Dengan berbagai alasan pendidikan menjadi mahal karena kontrol kualitas (Quality Control. Ironis memang, tapi itulah kenyataan yang ada ternyata proses pembodohan bangsa justru terjadi pada banyak program pemerintah (termasuk UNAS).