Tuesday, July 5, 2011

Menjerat Penjual iPad

Penahanan dua penjual perangkat iPad oleh polisi amat berlebihan. Mereka bukanlah penyelundup barang-barang elektronik skala besar. Tak sekadar menuruti undang-undang secara kaku, mestinya penegak hukum bersikap lebih bijak dalam menjerat orang yang diduga pelaku kejahatan.

Dian dan Randy, penjual komputer tablet itu, ditangkap pada November tahun lalu. Sebelumnya, mereka menawarkan barang elektronik ini lewat situs Internet www.kaskus.us. Polisi yang melihat iklan itu kemudian menyamar sebagai pembeli dan meminta transaksi dilakukan di sebuah mal. Saat transaksi itulah keduanya ditangkap dengan tuduhan menjual barang tanpa manual berbahasa Indonesia. Tuduhan lain, iPad yang mereka jual belum legal sebagai alat komunikasi resmi.Kelengkapan manual bahasa Indonesia memang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 8 ayat 1 J undang-undang ini menyebutkan bahwa setiap barang yang dijual di Indonesia wajib dilengkapi manual berbahasa Indonesia. Adapun soal legalitas, karena iPad yang dijual belum memiliki stiker pengesahan dari Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, maka barang itu tergolong ilegal. Untuk pelanggaran tersebut, ancaman sanksi dari tiap undang-undang adalah 5 tahun dan 1 tahun penjara.

Tak ada yang salah dengan semangat kedua undang-undang itu. Dengan adanya kewajiban pencantuman manual berbahasa Indonesia, konsumen diuntungkan. Konsumen lebih mudah memahami barang yang mereka beli sehingga spesifikasi barang pun bisa dicek apakah sesuai dengan yang dijanjikan produsen. Kewajiban memasang stiker juga untuk memastikan bahwa produk yang beredar di sini dengan mudah dikontrol.

Persoalannya, semangat kedua undang-undang itu sebetulnya ditujukan bagi pengusaha kelas importir atau pabrik pembuat barang-barang elektronik. Merekalah target sesungguhnya penerapan kedua undang-undang itu. Dengan adanya kedua undang-undang tersebut, para importir atau pabrik barang elektronik di Indonesia tak mudah memasukkan barang yang tak sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan. Penerapan kedua undang-undang itu juga diharapkan mampu menekan angka penyelundupan.

Polisi beralasan, penangkapan mereka justru sebagai pintu masuk untuk mengurai mata rantai penyelundupan. Alasan ini aneh karena, jika memang itu tujuannya, yang seharusnya dikejar polisi adalah para pedagang di mal pusat barang elektronik yang bertebaran di Jakarta. Tak sulit menemukan mereka. Tidak juga sulit menemukan bahwa di pusat-pusat perdagangan itu sangat banyak barang elektronik yang dijual tanpa manual berbahasa Indonesia, bahkan tanpa stiker pengesahan.

Menangkap orang yang menjual satu-dua barang tentengan dari luar negeri tak berdampak apa-apa jika tujuannya mengurangi penyelundupan. Lebih baik polisi melakukan operasi penindakan ke pusat-pusat penjualan barang elektronik atau ke para distributor. Dengan cara ini, efek jera akan jauh lebih besar.

Penahanan dua penjual perangkat iPad oleh polisi amat berlebihan. Mereka bukanlah penyelundup barang-barang elektronik skala besar. Tak sekadar menuruti undang-undang secara kaku, mestinya penegak hukum bersikap lebih bijak dalam menjerat orang yang diduga pelaku kejahatan.

Dian dan Randy, penjual komputer tablet itu, ditangkap pada November tahun lalu. Sebelumnya, mereka menawarkan barang elektronik ini lewat situs Internet www.kaskus.us. Polisi yang melihat iklan itu kemudian menyamar sebagai pembeli dan meminta transaksi dilakukan di sebuah mal. Saat transaksi itulah keduanya ditangkap dengan tuduhan menjual barang tanpa manual berbahasa Indonesia. Tuduhan lain, iPad yang mereka jual belum legal sebagai alat komunikasi resmi.

Kelengkapan manual bahasa Indonesia memang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 8 ayat 1 J undang-undang ini menyebutkan bahwa setiap barang yang dijual di Indonesia wajib dilengkapi manual berbahasa Indonesia. Adapun soal legalitas, karena iPad yang dijual belum memiliki stiker pengesahan dari Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, maka barang itu tergolong ilegal. Untuk pelanggaran tersebut, ancaman sanksi dari tiap undang-undang adalah 5 tahun dan 1 tahun penjara.

Tak ada yang salah dengan semangat kedua undang-undang itu. Dengan adanya kewajiban pencantuman manual berbahasa Indonesia, konsumen diuntungkan. Konsumen lebih mudah memahami barang yang mereka beli sehingga spesifikasi barang pun bisa dicek apakah sesuai dengan yang dijanjikan produsen. Kewajiban memasang stiker juga untuk memastikan bahwa produk yang beredar di sini dengan mudah dikontrol.

Persoalannya, semangat kedua undang-undang itu sebetulnya ditujukan bagi pengusaha kelas importir atau pabrik pembuat barang-barang elektronik. Merekalah target sesungguhnya penerapan kedua undang-undang itu. Dengan adanya kedua undang-undang tersebut, para importir atau pabrik barang elektronik di Indonesia tak mudah memasukkan barang yang tak sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan. Penerapan kedua undang-undang itu juga diharapkan mampu menekan angka penyelundupan.

Polisi beralasan, penangkapan mereka justru sebagai pintu masuk untuk mengurai mata rantai penyelundupan. Alasan ini aneh karena, jika memang itu tujuannya, yang seharusnya dikejar polisi adalah para pedagang di mal pusat barang elektronik yang bertebaran di Jakarta. Tak sulit menemukan mereka. Tidak juga sulit menemukan bahwa di pusat-pusat perdagangan itu sangat banyak barang elektronik yang dijual tanpa manual berbahasa Indonesia, bahkan tanpa stiker pengesahan.

Menangkap orang yang menjual satu-dua barang tentengan dari luar negeri tak berdampak apa-apa jika tujuannya mengurangi penyelundupan. Lebih baik polisi melakukan operasi penindakan ke pusat-pusat penjualan barang elektronik atau ke para distributor. Dengan cara ini, efek jera akan jauh lebih besar.

Penahanan dua penjual perangkat iPad oleh polisi amat berlebihan. Mereka bukanlah penyelundup barang-barang elektronik skala besar. Tak sekadar menuruti undang-undang secara kaku, mestinya penegak hukum bersikap lebih bijak dalam menjerat orang yang diduga pelaku kejahatan.

Dian dan Randy, penjual komputer tablet itu, ditangkap pada November tahun lalu. Sebelumnya, mereka menawarkan barang elektronik ini lewat situs Internet www.kaskus.us. Polisi yang melihat iklan itu kemudian menyamar sebagai pembeli dan meminta transaksi dilakukan di sebuah mal. Saat transaksi itulah keduanya ditangkap dengan tuduhan menjual barang tanpa manual berbahasa Indonesia. Tuduhan lain, iPad yang mereka jual belum legal sebagai alat komunikasi resmi.

Kelengkapan manual bahasa Indonesia memang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 8 ayat 1 J undang-undang ini menyebutkan bahwa setiap barang yang dijual di Indonesia wajib dilengkapi manual berbahasa Indonesia. Adapun soal legalitas, karena iPad yang dijual belum memiliki stiker pengesahan dari Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, maka barang itu tergolong ilegal. Untuk pelanggaran tersebut, ancaman sanksi dari tiap undang-undang adalah 5 tahun dan 1 tahun penjara.

Tak ada yang salah dengan semangat kedua undang-undang itu. Dengan adanya kewajiban pencantuman manual berbahasa Indonesia, konsumen diuntungkan. Konsumen lebih mudah memahami barang yang mereka beli sehingga spesifikasi barang pun bisa dicek apakah sesuai dengan yang dijanjikan produsen. Kewajiban memasang stiker juga untuk memastikan bahwa produk yang beredar di sini dengan mudah dikontrol.

Persoalannya, semangat kedua undang-undang itu sebetulnya ditujukan bagi pengusaha kelas importir atau pabrik pembuat barang-barang elektronik. Merekalah target sesungguhnya penerapan kedua undang-undang itu. Dengan adanya kedua undang-undang tersebut, para importir atau pabrik barang elektronik di Indonesia tak mudah memasukkan barang yang tak sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan. Penerapan kedua undang-undang itu juga diharapkan mampu menekan angka penyelundupan.

Polisi beralasan, penangkapan mereka justru sebagai pintu masuk untuk mengurai mata rantai penyelundupan. Alasan ini aneh karena, jika memang itu tujuannya, yang seharusnya dikejar polisi adalah para pedagang di mal pusat barang elektronik yang bertebaran di Jakarta. Tak sulit menemukan mereka. Tidak juga sulit menemukan bahwa di pusat-pusat perdagangan itu sangat banyak barang elektronik yang dijual tanpa manual berbahasa Indonesia, bahkan tanpa stiker pengesahan.

Menangkap orang yang menjual satu-dua barang tentengan dari luar negeri tak berdampak apa-apa jika tujuannya mengurangi penyelundupan. Lebih baik polisi melakukan operasi penindakan ke pusat-pusat penjualan barang elektronik atau ke para distributor. Dengan cara ini, efek jera akan jauh lebih besar.

Sumber : Koran Tempo Online edisi 5 Juli 2011

Komentar Mas Guru : Baru belajar berwira usaha kok ditangkep. Mbok ya dibimbing yang bener bos....

Sunday, November 28, 2010

Bos PT Bintang Ilmu Masuk Bidikan Kejari Masohi

Ambon (LiraNews) – Direktur Utama PT Bintang Ilmu, Basa Alim Tualeka, kini masuk dalam daftar bidikan Kejaksaan Negeri Masohi. Tualeka diduga terlibat dalam dugaan korupsi pengadaan buku dan alat peraga pada proyek dana alokasi khusus (DAK) bidang pendidikan pada Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Maluku Tengah (Malteng) tahun 2007 lalu.
Hal tersebut terungkap setelah Kejaksaan Negeri Masohi melakukan gelar perkara atau ekspos kasus, dua pekan lalu di kantor Kejaksaan Tinggi Maluku. Gelar perkara dihadiri Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku Soedibyo, Wakajati Maluku Babul Khoir Harahap, para Asisten di Kejati, Kepala Kejaksaan Negeri Masohi Rustam, dan tim jaksa penyelidik DAK pendidikan Malteng.

Hasil gelar perkara pada proyek senilai Rp 18 miliar itu, diputuskan penanganan kasus tersebut ditingkatkan dari penyelidikan ke penyidikan. “Iya kasusnya sekarang ditingkatkan dari penyelidikan ke penyidikan,” kata Kepala Kejaksaan Negeri Masohi, Rustam.

Alasannya, kata Kajari, tim jaksa menemukan indikasi penyimpangan pada realisasi proyek yang diperuntukan bagi sekolah dasar di Kabupaten Malteng. “Ditemukan bukti permulaan yang cukup, sehingga penanganan kasus tersebut di tingkatkan ke penyidikan,” tegasnya.

Indikasi penyimpangan itu beber Kajari antara lain penyimpangan biaya operasional DAK ke lokasi kegiatan. “Ada kegiatan sosialisasi dan pendataan yang tidak dilakukan tapi dana dicairkan,” ungkap Rustam. Jaksa juga menemukan indikasi penyimpangan pada pengadaan buku pelajaran dan alat peraga yang dialokasikan sebesar Rp 7 M.

Rustam menyatakan pengadaan buku ditangani PT Bintang Ilmu milik Basa Alim Tualeka. “Pengadaan buku dan alat peraga ditangani oleh PT Bintang Ilmu. Kita belum tahu apa ada perusahaan lain lagi yang menangani pengadaan ini,” katanya.

Pada pengadaan ini tim jaksa menemukan penyimpangan, yakni pengadaan buku dan alat peraga hanya sebesar 60 persen. “Volumenya (pengadaan) cuma 60 persen tidak sesuai kontrak, harusnya 100 persen. Kita masih dalami lagi, apakah buku-buku itu sesuai dengan spec atau tidak. Nilai bukunya sesuai atau tidak,” jelas Rustam.

Menyoal indikasi keterlibatan mantan Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Malteng Arfan Watiheluw dan Najib Pelupessy (kini Kadispora) yang saat proyek ini bergulir menjabat sebagai Kasubdin Perencanaan Sarana dan Prasarana Dispora Malteng, Kajari enggan berkomentar banyak. “Itu akan kita dalami di penyidikan nanti. Dalam penyidikan ini kita akan mencari tersangka,” jelasnya.

Terbentur dengan masa liburan akhir tahun, surat penyidikan diakui belum ditandatangani. “Berkasnya sudah di bagian pidsus (pidana khusus), Januari 2010 surat penyidikannya diterbitkan,” jelasnya.

Di tingkat penyelidikan, tim jaksa telah meminta keterangan sejumlah pihak, di antaranya Kepsek penerima bantuan dan pihak Dispora Maluku. “Pemeriksaan ditingkat penyidikan akan dilakukan setelah surat penyidikan diterbitkan,” jelas Kajari.

Apakah PT Bintang Ilmu terlibat dalam pengadaan buku dan alat peraga tersebut? Basa Alim Tualeka yang dihubungi via ponselnya menyatakan, PT Bintang Ilmu hanya sebagai penyedia barang dan telah dikirim sesuai dengan Juknis DAK 2007 di Malteng. “Kami tidak langsung dengan pihak sekolah (dalam penyaluran buku dan alat peraga),” jawabnya via pesan pendek SMS.

Perusahaannya tidak melakukan kontrak kerja dengan Diknas Malteng. “Yang ada hanya perusahaan-perusahaan di daerah yang dapat dukungan dari PT Bintang Ilmu yang melakukan kontrak dengan sekolah penerima,” jelasnya. Ketika ditanya nama-nama perusahaan di daerah yang menangani pengadaan itu, Tualeka tidak menjawabnya. “Saya lupa nama-nama perusahaan itu,” kilahnya.

Apakah pengadaan itu disubkan ke perusahaan lain di daerah? Tualeka kembali menjawab, perusahaannya hanya penyedia barang yang telah sesuai dengan petunjuk teknis (juknis) yang ditetapkan Depdiknas. “Yang saya dengar (pengadaan buku) tidak ada penyimpangan di Malteng, yang bermasalah itu fisik,” kata Tualeka.

Abua Tuasikal yang disebut-sebut menangani pengadaan buku dan alat peraga ini, menepis tudingan itu. “Tidak, tidak, tidak betul. Untuk apa lakukan hal-hal begitu, Allah melarang itu,” bantahnya via ponsel.

DAK pendidikan Malteng bersumber dari APBN sebesar Rp 16 M dan APBD Rp 1,8 M (dana pendamping). Dana disalurkan kepada 74 sekolah dasar (SD) di Malteng. Tiap SD memperoleh Rp 250 juta, diperuntukan bagi pembangunan fisik sebesar Rp 150 juta dan pengadaan buku pelajaran, alat peraga dan komputer Rp 100 juta.

Secara terpisah, Ketua LSM Sekoci Malteng, Syahril Silawane mengingatkan Kejari Masohi serius mengusut kasus ini. Ia berharap penyidikan kasus ini tidak dihentikan ditengah jalan karena alasan tidak cukup bukti. “Kami pesimis kasus ini dapat menjerat kepala dinas dan mantan kepala dinas sebagai tersangka. Kami prediksi penetapan tersangka hanya pegawai bawahan, bukan pejabat pengambil kebijakan, yang jelas-jelas membuat kebijakan yang keliru,” ujarnya sinis.

Realiasasi DAK pendidikan tahun 2007 di Malteng sebutnya, tidak sesuai petunjuk pelaksana. Sesuai aturan Mendiknas nomor 10 tahun 2008, pembangunan fisik tidak boleh melibatkan pihak ketiga. Pengerjaanya dilakukan oleh pihak sekolah, komite sekolah dan masyarakat atau swakelola. Ini juga ditegaskan dalam Kepres 80 tahun 2003, tentang pengadaan barang dan jasa. Tetapi yang terjadi bukan swakelola, melainkan melibatkan kontraktor. Akibatnya proyek yang dikerjakan ditemukan ada yang amburadul.

Silawane mengatakan, realisasi DAK pendidikan dilakukan berdasarkan kebijakan sendiri oleh Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Malteng. Selain melibatkan pihak ketiga, Silawane menyebutkan pengerjaan DAK pendidikan (fisik) ternyata di monopoli oleh kontraktor yang selama ini dikenal dekat dengan pejabat teras di Pemkab Malteng. Sebut saja, PT Kobi Indah, milik Hainudin alias Ode. Tahun 2007, perusahaan itu mengerjakan 28 paket (pembangunan ruang belajar) di sejumlah SD di Kecamatan Seram Utara dan Seram Utara Barat.

Pembagian pekerjaan proyek fisik dan pengadaan buku, kata dia, ditetapkan saat kegiatan sosialisasi DAK pendidikan yang digelar Dispora Malteng. Silawane membeberkan, dana dikirim ke nomor rekening masing-masing kepala sekolah setelah dana dicairkan, pihak Dispora menunjuk kontraktor mengerjakan proyek fisik di sejumlah SD. “Jadi ajang sosialisasi itu untuk menunjuk kontraktor mengerjakan proyek fisik. Kepsek yang tidak menyetujui akan dipindahkan,” ungkapnya.

Sejumlah Kepsek telah menunjuk kontraktor mengerjakan proyek fisik tapi ditekan dan digantikan oleh kontraktor yang selama ini dekat dengan pejabat Dispora Malteng.

Menurutnya, alokasi DAK pendidikan ini menjadi ajang korupsi oleh pejabat-pejabat bermental korup. Sebab, ada sekolah yang baru dua tahun dibangun kembali dikerjakan fisiknya. “Ini jadi ajang korupsi, kenapa? Sebab ada sekolah yang ruang belajarnya masih bagus dikerjakan kembali. Dengan begitu dana pekerjaan fisik paling besar Cuma Rp 15 juta, padahal dianggarkan Rp 150 juta,” katanya.

Menurutnya, dugaan korupsi DAK pendidikan di Malteng, sebenarnya tidak hanya terjadi di tahun 2007. Indikasi korupsi juga terjadi pada realiasasi DAK pendidikan tahun 2008. “Saya heran Kejari Masohi hanya mengusut DAK pendidikan tahun 2007, padahal realisasi tahun 2008 juga bermasalah,” tukas Silawane.

Sementara itu, anggota Fraksi Demokrat DPRD Maluku, Liliani Aitonam mendesak, Kejati Maluku mempresure Kejari Masohi, untuk serius menangani kasus tersebut. ‘’Kita himbau Kejati Maluku mempresure bawahanya menuntaskan kasus ini. Kasus ini harus diusut tuntas hingga mendapat putusan hukum tetap. Kita terus mengawal kasus ini,’’ tandas wakil rakyat Dapil Malteng itu.

Ia menduga, penyimpangan tak hanya terjadi di Dispora Malteng, namun alokasi anggaran untuk sektor kesehatan di Dinkes Malteng diduga di korupsi.’’Banyak indikasi yang tidak beres. Sektor kesehatan misalnya, diduga keras anggaranya juga dikorupsi,’’ beber Aitonam yang juga mantan dokter gigi.

Dia berharap, Kejari Masohi proaktif untuk menangani dugaan tersebut. Sebab sektor pendidikan dan kesehatan sangat penting. ‘’Bagaimana mau sehat dan pintar kalau dananya saja dikorupsi. Kalau terindikasi, namanya ini pembunuhan karakte orang Maluku khususnya di Malteng. Sekrot pendidikan dan kesehatan sangat penting. Kita tahu bersama bahwa semua komponen bangsa sementara fokus pada dunia pendidikan dan kesehatan,’’ terangnya. (is)


Komentar Mas Guru : Meski anggaran pendidikan dinaekkan menjadi 20%, pasti gak ada artinya jika pejabat-pejabat diknas macam gini. Tapi, kayaknya banyak juga ya yang kayak gini ?

Wednesday, July 21, 2010

Wajah Bopeng Dunia Pendidikan Kita

Tahun Ajaran Baru, Dunia Pendidikan Kembali Tercoreng

SLEMAN (Berita SuaraMedia) - Masa orientasi Siswa (MOS) diperlukan untuk membentuk karakter siswa sekaligus kesempatan mengenali lingkungan sekolah, teman-teman, guru dan sarana menjalin keakraban.

"Media pelaksanaan Masa Orientasi Siswa bisa bervariasi tetapi tidak dengan kekerasan," kata Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga, Kabupaten Sleman Suyamsih, Kamis
Ia mengatakan, pada prinsipnya pengenalan sekolah dan lingkungan pada MOS, media yang dipakai bisa bervariasi tapi tetap tidak dengan kekerasan.

"Ini bisa saja dengan membawa sesuatu yang bisa dijangkau seperti koran, bawang dan lainnya. Ini adalah untuk pembelajaran dan keakraban siswa bisa dijalin dengan metode dinamika kelompok dan selama itu bisa dicari anak, tidak mengada-ada," katanya.

Dia menyambung, "Pembinaan karakter ini sifatnya mengawali saja setelah itu diintegrasikan dengan mata pelajaran karena karakter itu bukan ilmu tapi masalah pembiasaan."

Sementara itu, dunia pendidikan di Kota Bandung kembali tercoreng. Sejumlah sekolah dari mulai SD hingga SMA mengkomersilkan perpindahan siswa dari sekolah lain. Siswa tersebut harus membayar sejumlah uang, tergantung cluster.

"Ada banyak jenis pelanggaran yang kami terima berdasarkan pengaduan masyarakat. Di antaranya jual beli bangku mutasi dari sekolah tak favorit ke favorit," kata Koordinator Koalisi Pendidikan Kota Bandung (KPKB) Iwan Hermawan, Kamis (15/7/2010).

Iwan mengatakan, praktik 'jual beli bangku' tersebut jelas bertentangan dengan Perda 15/2008 Kota Bandung tentang Penyelenggaraan Pendidikan Sekolah yang melarang memungut biaya apapun kepada peserta didik.

"Maka dari itu, hari ini kami akan melaporkan hasil temuan dan aduan kepada Wali Kota, Disdik, dan DPRD," kata Iwan.

Iwan menambahkan, Koalisi Pendidikan Kota Bandung membuka pos pengaduan dan investigasi. Sampai saat ini, lanjutnya, sudah ada 50 laporan pengaduan masyarakat yang diterima terkait pungutan biaya di sekolah.

"Kami hanya pelapor, hampir 90 persen sekolah melakukan pelanggaran itu. Ada bukti kwitansi bebrapa sekolah SMP, SMA yang daftar sekolah," kata Iwan.

Lebih jauh Iwan meminta agar pemerintah segera membentuk tim investigasi terkait pelanggaran tersebut. "Dibentuk tim independen yang melibatkan masyarakat dan DPRD," kata Iwan.

Begitu pula dengan sebuah sekolah di Bogor. Hari-hari pertama belajar di sebuah sekolah milik Yayasan Fajar Hidayah, Kompleks Kota Wisata Cibubur, Bogor, Jawa Barat, terganggu aksi sekelompok pemuda tak dikenal.

Kondisi ini disesalkan para orangtua siswa yang khawatir aktivitas belajar anak-anak mereka terganggu. Kekhawatiran orangtua langsung ditanggapi dengan diterjunkannya beberapa polisi ke lokasi. Kehadiran polisi di lokasi sedikit menenangkan hati para orangtua dan siswa.

Belakangan diketahui aksi para pemuda tersebut terkait masalah hutang piutang dengan pengelola Yayasan Fajar Hidayah. Menurut para pemuda, mereka ingin menemui pengelola yayasan yang dianggap ingkar janji. Mereka mengklaim yayasan berhutang sekitar Rp 2 miliar. (fn/ant/ok/klik video dari Kantor Berita Liputan 6) www.suaramedia.com


Sumber : Suara Media, edisi 15 Juli 2010.

Komentar Mas Guru : Sebenernya, penyimpangan-penyimpangan semacam itu telah menjadi rahasia umum. Jadi, nggak perlu ada yang dirahasiaken. Lebih jadi lagi, pelaku-pelaku dunia pendidikan kita praktek-praktek tercela semacam itu juga biasa-biasa saja. Artinya, nggak pake kikuk apalagi malu. Kemudian, pejabat-pejabat atau aparat penegak hukum juga melihat hal itu sebagai praktek biasa. Masyarakat pun, menganggap praktek-praktek 'pemerasan' semacem itu sebagai kelumrahan. Alhasil, penyimpangan itu jadi langgeng karena semuanya menganggap sebagai kewajaran.

Sunday, July 11, 2010

Presiden: Usut Penganiayaan Aktivis ICW dan Bom Molotov Tempo

Jakarta (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan Kepolisian Negara RI (Polri) mengusut kasus penganiayaan aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), Tama S. Langkun, dan kasus pelemparan bom molotov ke kantor redaksi majalah berita mingguan Tempo.

"Harus segera dicaritahu pelakunya dan motifnya," kata Presiden dalam pengantar sidang kabinet paripurna di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Kamis.
Tama S. Langkun adalah salah seorang aktivis ICW yang sering mengungkap sejumlah dugaan korupsi di berbagai instansi. Akhir-akhir ini, dia aktif mendorong pengungakapan kasus dugaan rekening mencurigakan milik sejumlah perwira Polri.

Kamis dini hari, ketika dalam perjalanan pulang, Tama dicegat dan dianiyaya oleh beberapa orang. Akibatnya, Tama terluka dan harus menjalani perawatan di rumah sakit.

Kepala Negara menjelaskan, Indonesia adalah negara yang menjunjung asas demokrasi. Oleh karena itu, pemerintah mendukung kebebasan berpendapat dan mengutuk upaya membungkam atau meneror kebebasan itu.

"Saya belum tahu siapa pelakunya, tapi pihak Polri akan segera mengetahui," kata Presiden.

Presiden menjelaskan, ada kemungkinan pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan situasi ketika ada dua pihak berbeda pendapat sedang berusaha menyelesaikan perbedaan itu secara baik.

Selain untuk kasus penganiayaan aktivis ICW, Presiden juga berharap Polri menyelesaikan kasus pelemparan bom molotov di kantor redaksi majalah Tempo.

Sementara itu, Menko Polhukam, Djoko Suyanto mengecam penganiayaan terhadap aktivis ICW dan pelemparan bom molotov di kantor redaksi majalah Tempo di Jalan Proklamasi 72, Jakarta Pusat, pada Selasa (6/7) sekira pukul 02.45 WIB.

"Saya menyesalkan dan mengecam tindak kekerasan semacam itu," kata Djoko.

Dia meminta aparat penegak hukum mencari pelaku dan menjatuhkan hukuman sesuai aturan yang berlaku, termasuk apabila pelakunya adalah aparat penegak hukum sendiri.

"Tindakan seperti itu tidak dibenarkan dan harus diusut," kata Djoko.

Kecaman yang sama juga diungkapkan oleh Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Denny Indrayana.

Namun demikian, dia meminta masyarakat tidak tergesa-gesa menduga identitas pelaku kekerasan itu. Dia berharap, masyarakat memberikan kesempatan kepada aparat penegak hukum untuk mengusut kedua kasus itu.

Sumber : Antara, edisi Kamis, 8 Juli 2010

Komentar Mas Guru : Ternyata mencari pelaku penganiayaan terhadap aktivis ICW dan pelaku pelemparan bom molotov di kantor Majalah Tempo itu lebih sulit daripada menangkep teroris pelaku pemboman.

Wednesday, June 30, 2010

Boleh Diangsur Biaya Daftar Ulang SMPN 1 Tulungagung

TULUNGAGUNG - Kepala SMPN 1 Tulungagung Bambang Agus Susetyo (AS) merespon keluhan wali murid mengenai tingginya biaya heregristrasi atau daftar ulang. Dia menyatakan wali murid boleh mengangsur biaya daftar ulang kelas VIII dan IX sebesar Rp 2.680.000.

"Jika tidak mampu, masing-masing siswa dapat mengajukan keringanan. Misalnya pembayaran dilakukan dengan cara diangsur selama setahun. Kami tidak otoriter kok," katanya kemarin.
Dia mengatakan, daftar ulang Rp 2.680.000 berdasarkan hasil keputusan rapat komite sekolah beberapa waktu lalu. Dana yang terkumpul digunakan

untuk pengembangan kualitas pendidikan siswa.

"Diantaranya mendatangkan tenaga ahli bidang pendidikan dari perguruan tinggi. Mereka akan memberikan materi ke para pengajar di SMPN 1 Tulungagung, sebelum akhirnya kepada siswa," jelasnya.

Bambang AS melanjutkan, untuk meningkatkan kualitas pendidikan, sejumlah siswa berprestasi dikirim ke luar negeri. Itu juga butuh biaya tinggi. "Tahun ini, kami sudah menjalin kerjasama dengan salah satu sekolah di Singapura. Beberapa siswa dan guru mengikuti program pertukaran pelajar ke sana. Dananya ya dari daftar ulang itu," ungkapnya.

Bambang AS menjelaskan, nominal biaya daftar ulang sudah ditentukan sesuai kebutuhan masing-masing siswa dalam satu tahun. "Kalau tidak dibebankan kepada siswa, untuk berbagai macam kegiatan itu didapatkan dari mana?" kata Bambang AS.

Agar permasalahan ini tidak berkepanjangan, Bambang AS berniat mengundang seluruh wali murid. Mereka akan diperlihatkan fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan masing-masing siswa. "Mengingat saat ini SMPN 1 Tulungagung menjadi salah satu barometer RSBI tingkat nasional," katanya.

Seperti diberitakan sebelumnya, sejumlah wali murid di sekolah rintisan berstandar internasional (RSBI) SMPN 1 Tulungagung mengeluhkan tingginya biaya heregistras yang dibebankan kepada setiap siswa. Yakni, untuk biaya heregistrasi atau daftar ulang tahun ajaran baru, setiap siswa RSBI dikenai biaya Rp 2.680.000. Jumlah itu belum termasuk biaya SPP Rp 150 ribu per bulan.

"Sebagai wali murid, nominal yang diajukan pihak sekolah senilai itu, sangat membebani," ujar salah satu wali murid.

Sumber : Radar Tulungagung Edisi 30 Juni 2010

Komentar Mas Guru : Kayaknya bener tuh kalo DPRD Sragen minta keberadaan RSBI ini dibubarken saja. Pasalnya, di banyak tempat, stempel RSBI yang digunaken banyak sekolah hanyalah sarana untuk mencekik rakyat wali murid.
Yang aneh, kok ya masih banyak masyarakat kita ngoyok memasukken anaknya ke sekolah-sekolah berstempel RSBI ini. Coba saja masyarakat keseluruhan memboikot ndak mau memasukkan anaknya ke sekolah-sekolah macem itu, pasti kelas RSBI akan sirna dengan sendirinya.