Wednesday, June 30, 2010

Boleh Diangsur Biaya Daftar Ulang SMPN 1 Tulungagung

TULUNGAGUNG - Kepala SMPN 1 Tulungagung Bambang Agus Susetyo (AS) merespon keluhan wali murid mengenai tingginya biaya heregristrasi atau daftar ulang. Dia menyatakan wali murid boleh mengangsur biaya daftar ulang kelas VIII dan IX sebesar Rp 2.680.000.

"Jika tidak mampu, masing-masing siswa dapat mengajukan keringanan. Misalnya pembayaran dilakukan dengan cara diangsur selama setahun. Kami tidak otoriter kok," katanya kemarin.
Dia mengatakan, daftar ulang Rp 2.680.000 berdasarkan hasil keputusan rapat komite sekolah beberapa waktu lalu. Dana yang terkumpul digunakan

untuk pengembangan kualitas pendidikan siswa.

"Diantaranya mendatangkan tenaga ahli bidang pendidikan dari perguruan tinggi. Mereka akan memberikan materi ke para pengajar di SMPN 1 Tulungagung, sebelum akhirnya kepada siswa," jelasnya.

Bambang AS melanjutkan, untuk meningkatkan kualitas pendidikan, sejumlah siswa berprestasi dikirim ke luar negeri. Itu juga butuh biaya tinggi. "Tahun ini, kami sudah menjalin kerjasama dengan salah satu sekolah di Singapura. Beberapa siswa dan guru mengikuti program pertukaran pelajar ke sana. Dananya ya dari daftar ulang itu," ungkapnya.

Bambang AS menjelaskan, nominal biaya daftar ulang sudah ditentukan sesuai kebutuhan masing-masing siswa dalam satu tahun. "Kalau tidak dibebankan kepada siswa, untuk berbagai macam kegiatan itu didapatkan dari mana?" kata Bambang AS.

Agar permasalahan ini tidak berkepanjangan, Bambang AS berniat mengundang seluruh wali murid. Mereka akan diperlihatkan fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan masing-masing siswa. "Mengingat saat ini SMPN 1 Tulungagung menjadi salah satu barometer RSBI tingkat nasional," katanya.

Seperti diberitakan sebelumnya, sejumlah wali murid di sekolah rintisan berstandar internasional (RSBI) SMPN 1 Tulungagung mengeluhkan tingginya biaya heregistras yang dibebankan kepada setiap siswa. Yakni, untuk biaya heregistrasi atau daftar ulang tahun ajaran baru, setiap siswa RSBI dikenai biaya Rp 2.680.000. Jumlah itu belum termasuk biaya SPP Rp 150 ribu per bulan.

"Sebagai wali murid, nominal yang diajukan pihak sekolah senilai itu, sangat membebani," ujar salah satu wali murid.

Sumber : Radar Tulungagung Edisi 30 Juni 2010

Komentar Mas Guru : Kayaknya bener tuh kalo DPRD Sragen minta keberadaan RSBI ini dibubarken saja. Pasalnya, di banyak tempat, stempel RSBI yang digunaken banyak sekolah hanyalah sarana untuk mencekik rakyat wali murid.
Yang aneh, kok ya masih banyak masyarakat kita ngoyok memasukken anaknya ke sekolah-sekolah berstempel RSBI ini. Coba saja masyarakat keseluruhan memboikot ndak mau memasukkan anaknya ke sekolah-sekolah macem itu, pasti kelas RSBI akan sirna dengan sendirinya.

Perwira Kaya Polri Pernah Bertugas di Daerah Konflik Lingkungan

TEMPO Interaktif, Jakarta - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menilai ada keterkaitan antara kasus lingkungan di daerah dengan rekening gemuk petinggi Polri.

"Mereka sebagian besar pernah jadi Kapolda di daerah-daerah pertambangan, perkebunan dan kehutanan yang ada konfliknya. Dan konflik tersebut dipelihara untuk generasi berikutnya," kata Deputi Direktur Walhi Erwin Usman dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (29/6). Dalam liputan Majalah Tempo edisi Senin (28/6) tentang Rekening Gendut Perwira Polri, menyebutkan sejumlah perwira tinggi Polri memiliki sejumlah rekening janggal dengan jumlah miliaran rupiah.

Perwira tinggi itu, di antaranya Irjen Mathius Salempang, Irjen Sylvanus Yulian Wenas, Irjen Budi Gunawan, Irjen Bambang Soeparno, Komjen Susno Duadji, dan Badrodin Haiti. "Mereka ada yang pernah jadi mantan Kapolda Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Jawa Timur, dan beberapa daerah yang terkait dengan masalah lingkungan seperti pembalakan liar di Riau dan Sumatera Utara, lumpur Lapindo di Jawa Timur, dan lain-lain," ujarnya.

Mencuatnya kasus ini, kata Erwin, menunjukkan bahwa reformasi yang dicanangkan Polri dalam lima tahun ini belum berhasil. Polri seringkali terlibat konflik dan sengketa dengan warga, khususnya dalam bidang penegakan hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam (PSDA). Di antaranya sektor kehutanan, perkebunan, pertambangan, kelautan, serta infrastruktur, yang tentunya semua berskala besar. Mereka cenderung membela pemodal, pengusaha, atau pun pemerintah dibandingkan membela warga biasa.

Dalam catatan Walhi, sejak tahun 2003 hingga semester pertama tahun 2010, jumlah konflik sumber daya alam terjadi sebanyak 317 kasus. Secara spesifik, hingga semester pertama 2010, pihaknya mencatat 84 orang sudah menjadi korban kriminalisasi dan kekerasan aparat polisi.

"Yang paling parah peristiwa di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau, 8 Juni 2010 lalu. Perempuan petani bernama Yusniar, 45 tahun, ditembak di tempat," ujarnya.

Selain kasus Yusniar, tambah Erwin, masih banyak peristiwa penahanan petani di beberapa daerah, seperti Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Tengah, dan lainnya.

MUNAWWAROH

Sumber : Tempointeraktif edisi 29 JUNI 2010

Komentar Mas Guru : Nggak berani kasih komen nih....Cuma Mas Guru haqul yakin, sebentar lagi persoalan ini pasti menguap dengan sendirinya. Soalnya, biasanya sih gitu....

Monday, June 7, 2010

DPRD minta RSBI dibubarkan

SRAGEN - Kalangan DPRD Sragen prihatin dengan pungutan di Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI), yang dinilai sangat memberatkan masyarakat. Pungutan itu sama sekali tak ada standar yang jelas, sehingga mengundang reaksi wakil rakyat Sragen, dan mengusulkan agar sekolah RSBI di dibubarkan atau ditutup saja. ’’Keberadaan RSBI sebagai bentuk komersialisasi pendidikan, dan tak memberikan implikasi terhadap peningkatan kualitas pendidikan di Kabupaten Sragen. RSBI, justru lebih banyak diarahkan sebagai alat komersialisasi pendidikan, yang justru memberatkan orangtua,’’ ujar Sekretaris Fraksi Karya Nasional (FKN) DPRD Sragen, Bambang Widjo Purwanto, kepada wartawan, Selasa (1/6) kemarin.Menurut Bambang, sekolah RSBI hanya berkedok untuk mengeruk keuntungan di bidang pendidikan. Pihaknya yakin, dengan sekolah reguler yang dibina dan dididik dengan baik, lulusannya juga pasti bisa lebih baik dibanding lulusan RSBI.

Bambang mengatakan, sekolah negeri dengan label RSBI, terkesan memunculkan diskriminasi pendidikan, terutama bagi para siswa cerdas, yang berasal dari keluarga miskin, dan tak mampu membayar. Dicontohkan, besaran biaya masuk RSBI SMP Negeri Sragen lebih dari Rp 2,5 juta, dan RSBI SMA Negeri mencapai Rp 3 juta - Rp 5 juta.

Utamakan sumbangan
’’Dan itu, masih ditambah dengan biaya SPP, minimal Rp 250.000 per bulan. Mestinya, standar RSBI itu kualitas pendidikan, bukan pada besarnya biaya pendidikan. Padahal RSBI tak jauh beda dengan sekolah reguler, karena tak ada guru khusus di RSBI,’’ tandasnya. Dikatakan, RSBI hanya mengutamakan sumbangan.

’’Keluhan orangtua calon siswa soal tingginya biaya pendaftaran di RSBI SMP Negeri 1 Sragen yang mencapai jutaan rupiah, adalah bukti nyata mahalnya biaya pendidikan di Sragen,’’ katanya lagi.

Menurutnya, tingginya biaya masuk sekolah RSBI, masih ditambah munculnya beragam pungutan liar, dengan dalih untuk membiayai kegiatan sekolah. ’’Hal itu juga menegaskan, bahwa label pendidikan murah di Sragen, hanya sekadar mercusuarisasi program saja,’’ tegasnya.

Sementara itu anggota FKN lainnya, Thohar Achmadi, justru mempertanyakan komitmen daerah, terkait banyaknya keluhan pungutan di sejumlah sekolah negeri. Padahal, selama ini SD dan SMP sudah ditopang dana Biaya Operasional Sekolah (BOS), dari pemerintah pusat. ’’Maka, terlalu mengada- ada atau ngayawara, kalau ada klaim bahwa pendidikan Sragen murah,’’ kata Thohar Achmadi.

Sebelumnya, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sragen, Drs Gatot Supadi, menyatakan, dana BOS memang difungsikan untuk membiayai kegiatan operasional sekolah, sesuai peruntukkannya. Namun, apabila tak cukup atau ada kebutuhan diluar petunjuk BOS, sekolah diperbolehkan menarik iuran, sepanjang direstui dan dibicarakan sebelumnya, bersama wali murid. K.25-die

Komentar Mas Guru :
Pertama, kita amat bersyukur masih ada de pe er yang mau peduli pada kesulitan rakyat banyak berkaitan dengan kebijakan pemerintah di bidang pendidikan. Karena, semangkin hari semangkin banyak saja akal pengelola pendidikan, khususnya sekolah-sekolah negeri, dalam menarik dana masyarakat.
Kedua, barangkali sudah bukan lagi menjadi rahasia kalo cap-ap semacam RSBI hanya digunakan pihak sekolah untuk melegalkan menarik dana yang berlebih dari masyarakat.
Ketiga, semoga masyarakat banyak tidak mau tertipu label-label demikian itu. Bayangken saja, guru-gurunya ya itu-itu juga, mengapa biayanya jauh berbeda ? Apa guru-guru yang itu-itu tadi tiba-tiba menjadi tambah kompeten begitu mengajar di kelas-kelas mahal tersebut ?
Paling-paling yang berbeda ya fasilitasnya doang. Dan fasilitas yang berbeda ini akan tidak banyak artinya kalo guru-gurunya ya orang-orang itu saja.
Mas Guru punya pengalaman. Suatu hari berkunjung ke rumah tetangga. Kebetulan ke dua anaknya sedang mengerjaken tugas sekolahan. Anak temen Mas Guru mengerjaken tugas dengan browsing di internet.
Iseng-iseng Mas Guru ngeliat tugas macam apa yang dikerjaken oleh anak SMP dan SMA tersebut. Eee lha dhalah... kok macem tugas keduanya sama. Mencari materi di internet, lalu diprint untuk dikumpulken pada masing-masing gurunya. Lha kalo sekedar begitu tugasnya, kepandaian macam apa yang mau diajarkan kepada generasi muda kita ?
Keempat, RSBI macem itu memang mangkinmenegasken segregasi sosial.
Karena itu, masyarakat nggak perlu masuk kelas-kelas macem begitu. Kalo nggak ada yang masuk, pasti kelas-kelas eksklusif macem itu akan bubar dengan sendirinya.