Thursday, February 28, 2008

Haruskah Kita Memproklamirkan Kemerdekaan Yang Kedua ?

Dewan Pakar Dekopinwil Jatim Prof Nirbito mengingatkan bahwa terus tumbuhnya ritel milik jaringan bisnis internasional tak hanya mengancam pasar tradisional dan toko-toko kecil. Toko swalayan yang mulai masuk kampung-kampung diidentifikasi mengancam eksistensi usaha pertokoan milik koperasi di Kota Malang.

Ancaman itu muncul karena penetrasi pasar mereka sangat tajam. Selain itu, harga dan bonus yang mereka tawarkan cukup menggiurkan masyarakat. "Apalagi posisi mereka kini lebih dekat kepada konsumen rumah tangga. Cukup membahayakan," ungkap Nirbito.( Radar Malang, 28 Feb 2008 ).

Ini menunjukkan bahwa meski kemerdekaan repiblik ini telah diproklamirken sejak 1945, tapi hakikatnya kita ini masih dijajah. Mai kita coba bikin perbandingan antara apa yang dilakuken penjajah zaman dulu dan penjajah zaman sekarang.

Menurut kakek buyut Mas Guru, dulu itu penjajah menjajah negara kita untuk mengambil berbagai hasil yang keluar dari bumi kita, mencari tenaga kerja dari pribumi yang konon bodoh-bodoh sehingga harganya murah dan menjadikan negara kita sebagai pasar bagi barang-barang produk mereka.

Saat ini, negara-negara maju kan berperilaku sama. Mereka 'memaksa' pemerintah kita untuk menjual hampir semua sumber alam kita. Akibatnya, meski kita dikataken negera gemah ripah loh jinawi, tapi kita ndak ikut mengelola. Kita cuma dapat sedekah mereka, berupa bagi hasil yang ndak memadai. Lebih monyong lagi, tidak hanyak sumber daya alam yang dijual, BUMN pun, termasuk yang dikategorikan menguasai hajat hidup orang banyak, juga turut dilelang.

Yang kedua, mengenai tenaga kerja. Coba saja bandingken gaji tenaga kerja kita dengan ekspatriat yang bekerja di bumi Indonesia ini. Bule-bule itu gajinya bisa puluhan kali lipat dibandingken dengan gaji tenaga kerja kita, meski untuk jabatan yang relatif sama. Bahkan untuk pemaen sepak bola pun, pemaen kita mendapat gaji lebih kecil dari pemaen asing, baik yang berkulit bule maupun berkulit lainnya.

Yang ketiga, mengenai pasar. Dengan penuh ndak percaya diri dan ndak berdaya, pemerintah kita membiarken pemaen-pemaen asing berduel dengan pemaen dalem negeri dengan bebasnya. Hampir tidak ada proteksi bagi pemaen lokal ( baik di bidang perdagangan, pertanian, pengolahan dan laennya ). Karena pemaen-pemaen kita itu kalah modal, kalah pengalaman, kalah pinter dan kalah yang laennya, ya otomatis satu per satu pada tersungkur alais pada ndlosor. ( Ini terkecuali untuk pengusaha-pengusaha kayak Aburzal Bakri dan anak-anak mbah Harto yang jumlahnya cuma segelintir ).

Jika kondisi begini terus dibiarken,kira-kira jadi apa ya bangsa kita ? Apa ya kita ini memang ditakdirken jadi bangsa cecunguk ya ? Kok dari ratusan tahu lalu nasibnya ndak baek-baek ?

Sunday, February 24, 2008

Satpol PP Jombang Buang "Gepeng" ke Hutan

Nganjuk-( Republika, 07 Februari 2008 ) Keterlaluan dan tidak manusiawi. Itulah tindakan aparat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Pemkab Jombang. Setelah melakukan operasi penertiban terhadap para pengemis dan gelandangan (gepeng), aparat itu bukan menyerahkan ke panti sosial. Malah, gepeng yang berjumlah 26 orang yang terkena razia itu dibuang di pinggir hutan, Desa Ketawang, Kecamatan Gondang, Kabupaten Nganjuk.
Bahkan yang lebih kejam lagi, mereka dubuang pada pukul 23.00 WIB dan turun hujan dengan lebat. Tindakan Satpol PP Pemkab Jombang itu tentu sajamendapat sorotan berbagai pihak. Selain tidakmanusiawi dan kejam, tindakan itu telah melanggar HakAzazi Manusia (HAM).

"Meskipun yang terkena razia itu adalah gelandangandan pengemis, tidak dibenarkan tindakan Satpol PP yangmembuang orang begitu saja. Ini tindakan yang kejamdan tidak manusiawi. Mereka itu juga warga negara yangharus dilindungi. Mereka punya hak. Tindakan Satpol PPPemkab Jombang itu telah melanggar HAM," ujar Cahyo,Ketua LSM Masyarakat Peduli Pelayanan Publik (MP3).


Keterangan yang dihimpun Republika di lapanganmenyebutkan, saat dibuang dipinggir hutan Desa Ketawang, Kecamatan Gondang, Kabupaten Nganjuk, Selasa lalu, 26 orang yang di antaranya terdapat orang lanjut usia dan anak-anak itu, nampak kebingungan. Ia berjalan tertatih-tatih akibat kelaparan.
Di tengah hujan deras itulah, ada salah seorang warga Desa Ketawang yang menemukan 26 orang itu. Lalu mereka dilaporkan ke Kades Ketawang. Oleh Kades, karena kelaparan, malam itu juga diberi makan. Saat dibuang tersebut, kondisi para gepeng itu sangat mengenaskan. Banyak diantara mereka yang berjalan dengan sempoyongan. Selanjutnya, Kades melapor ke Polsek Gondang. Oleh Polsek Gondang dan petugas dari Kecamatan Gondang dikirim ke Panti Sosial Bina Karya Kertosono.
Lamirah (35) asal Surabaya, saat ditemui di Panti Sosial Bina Karya menjelaskan, dirinya ditangkap aparat Satpol PP Pemkab Jombang di Pasar Citra Niaga Jombang. Saat itu ia tengah duduk-duduk bersama anaknya yang berusia 3 tahun.
"Tahu-tahu saya dinaikan truk. Lalu dibawa ke kantor. Setelah itu dinaikan truk lagi. Saya tidak tahu dibawa ke mana. Tiba-tiba disuruh turun dari truk dan ditinggal begitu saja," ujar Lamirah, dengan menggendong anaknya yang berusia tiga tahun.
Hal yang sama diutarakan Sukatmi (55) warga Madiun. Selama ini ia mempunyai pekerjaan pemulung. Dirinya mengaku ditanggkap di Pasar Citra Niaga Jombang.
"Saat di pasar itulah saya dinaikan truk. Lalu dibawa ke kantor. Dan dinaikan truk lagi dan dibawa ke mana saya tidak tahu. Setelah berjalan cukup lama, kami ini diminta turun dari truk. Setelah kami semua turun, kok ditinggal begitu saja. Pada hal, waktu itu hujan," ujar Sukatmi.
Kepala Panti Sosial Bina Karya, Kertosono, Marnoto, menyesalkan tindakan Satpol PP Pemkab Jombang tersebut. Menurut dia, tidak diperbolehkan membuang gepeng hasil razia seperti itu. Apalagi dibuang di tempat jauh dan di tengah hutan lagi.
"Mestinya, gepeng yang ditangkap saat razia itu dikirim ke panti sosial. Kalau dibuang seperti itu namanya tidak manusiawi. Mereka kan juga manusia," ujar Marnoto.

Komentar Mas Guru :
Kelihatannya para satpol pp ini ndak paham bahwa orang-orang yang dibuang di hutan itu menjadi ‘gepeng’ karena pemerintah tidak bisa memberi mereka lapangan kerja, jaminan sosial atau apa pun namanya yang bisa memberi golongan ini hidup wajar seperti warga Indonesia yang lain. Andai saja pemerintah kita becus dalam mengelola kekayaan alam negeri ini, tentu tidak ada warga negara yang menjadi gelandangan dan pengemis.
Selain itu,sebenarnya, kelakuan satpol pp yang tidak berperikemanusiaan semacam itu sering kita saksikan di siaran berita yang disiarkan berbagai stasiun televisi. Banyak kecaman telah dialamatkan kepada mereka. Tetapi tindakan bodoh mereka terus berlangsung. Barangkali sudah waktunya mengkaji ulang pola rekrutmen anggota satpol pp ini. Di samping itu, juga perlu diberikan pendidikan khusus buat mereka supaya dalam melaksanakan tugasnya lebih bernurani dan manusiawi.

Saturday, February 23, 2008

ANALISIS : Pendidikan (Terancam) Mundur

( Kedaulatan Rakyat, 23 Februari 2008 ) KETIKA Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 2002 mengamandemen Pasal 31 UUD 1945 muncul harapan terjadinya perbaikan dunia pendidikan nasional. Secara eksplisit, UUD hasil amandemen keempat itu menyuratkan, anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD (Pasal 31 ayat 4). Harapan semakin menyeruak ketika UU Sisdiknas (2003) menegaskan bahwa angka 20% itu tidak termasuk pembayaran gaji pendidik (Pasal 49 ayat 1).

Belum lagi angka 20% itu tercapai, ada gugatan melalui Mahkamah Konstitusi (MK), yang menuntut agar 20% itu termasuk gaji pendidik. Ternyata MK (20/2) memenuhi tuntutan peninjauan itu. Dengan dipenuhinya tuntutan tersebut maka alokasi anggaran pendidikan dalam APBN saat ini langsung ”melonjak” dari 11,8% menjadi 18%! Padahal, tak serupiah pun anggaran tersebut bertambah. Yang berubah bukan nilai riil atau substansinya, tetapi definisi atau terminologinya saja!!


Tentu saja ini mengubur asa terjadinya akselerasi pendidikan nasional. Susah diharapkan pemerintah akan mengalokasikan lebih banyak anggaran pendidikan. Padahal, kebutuhan dana untuk memperbaiki fasilitas dan mutu pendidikan di tanah air masih sangat besar.
Adakah ini akan selalu membuat kita menjadi bangsa tertinggal dan tetap pelit untuk alokasikan budget untuk pendidikan? Mungkin saja. Bayangkan, dibandingkan dengan negara sebaya di ASEAN kita sudah paling kecil budget pendidikannya. UNDP mencatat, selama periode 1990-1995 anggaran pendidikan Indonesia terhadap PDB hanya 1,27%, sementara Thailand 3,80%, Malaysia 4,87%, dan Vietnam 2,32%. Urutan ini tidak banyak berubah sampai sekarang.
Dengan kepelitan anggaran pendidikan itu, tidak mengherankan kalau berbagai indikator sosial-ekonomi kita rendah dibandingkan negara lain. Seperti Indeks Pembangunan Manusia (HDI), Indeks Daya Saing, Indeks Pencapaian Teknologi, dan sebagainya, kita selalu berada pada peringkat menengah bawah, atau bahkan terbawah. Perbaikan terhadap indeks-indeks ini sempat muncul dengan adanya keharusan pemerintah menaikkan anggaran pendidikan sampai minimal 20% dari APBN dan APBD-nya.

Namun harapan ini bisa surut kembali dengan keputusan MK tersebut. Bayangkan, Malaysia yang sudah maju saja anggaran pendidikan di luar gaji sudah 25%. Sementara Filipina dan Thailand masing-masing sudah 20 dan 22%. Dengan uji materi terhadap UU Sisdiknas itu, terbayang di depan perbaikan pendidikan nasional kita melambat kembali. Prasarana fisik, penyediaan materi ajar, beasiswa, pelatihan-pelatihan dan sebagainya, bisa jadi akan melambat perkembangannya.

Wajar jika kita khawatir akselerasi yang sudah mulai muncul sejak amandemen tersebut akan melemah dengan tidak adanya paksaan bagi penyelenggara negara menaikkan anggaran hingga 20% di luar gaji. Karena dengan keputusan MK itu, ibarat pencet tombol, otomatis anggaran pendidikan sudah mendekati 20% dan kemudian stagnan porsinya.
Wajar pula dengan keputusan MK ini kita bertanya, buat apa amandemen UUD 1945 kalau secara riil tak mengubah nilai anggaran pendidikan itu? Apakah amandemen sekadar bermain kata-kata saja? Sekadar menambahkan pos yang tadinya di luar anggaran pendidikan masuk ke dalam pos pendidikan? Pasti bukan demikian maunya rakyat negeri ini!

Apa upaya selanjutnya?
Saya kira kita perlu berpikir, menguji kembali keputusan MK ini. Jangan-jangan ini juga bertentangan dengan konstitusi kita, UUD 1945, yang secara tegas menyatakan ”Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. Tidak ada kata yang menjelaskan ‘gaji pendidik’ masuk di dalamnya. Silahkan ahli hukum yang bisa mengutak-atiknya.

Ditulis Oleh Edy Suandi Hamid,Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Rektor UII Yogyakarta.

Komentar Mas Guru :
Mungkin MK berpikir, zaman penjajah dulu sekolah dibiayai masyarakat sendiri, toh muridnya juga pinter-pinter. Gitu aja kok repot !!! ( Sorry Gus, anne niru )




Friday, February 22, 2008

Unpad Harus Transparan

BANDUNG, (Pikiran Rakyat, 22 Februaari 2008 ).-Bertepatan dengan hari mahasiswa sedunia, ratusan mahasiswa Universitas Padjadjaran (Unpad) melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung rektorat Unpad, Jln. Dipati Ukur Bandung, Kamis (21/2) . Mereka menuntut transparansi dana kemahasiswaan serta meminta Unpad melibatkan mahasiswa dalam memutuskan kebijakan kampus yang berkaitan dengan kemahasiswaan.
"Dana kemahasiswaan yang disediakan mencapai Rp 2,3 miliar, tetapi kami tidak merasakan dampak dari dana tersebut. Bahkan, ada kegiatan yang tidak mendapat bantuan saat kami mengajukan permohonan dana ke fakultas. Alasannya, dana tidak tersedia," kata Reza Faturrahman, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Unpad.
Selain itu, menurut Reza, akibat ketidaktransparanan ini, mahasiswa tidak mendapatkan dana secara optimal untuk membuat kegiatan yang menarik. Dana yang diterima mahasiswa pun tidak utuh. "Selain itu, terjadi diskriminasi pemberian dana kegiatan di tataran unit kegiatan mahasiswa (UKM)," ujarnya.


Sejumlah perwakilan mahasiswa diterima Rektor Unpad, Ganjar Kurnia, serta dihadiri Pembantu Rektorat (PR) II Wahyudin Zarkasih, Kepala Biro Kemahasiswaan Lili Permadi, dan Sekretaris Senat Universitas Padjadjaran Johan S. Masjhur. Suasana dialog sempat memanas ketika perwakilan mahasiswa meminta rektor menandatangani nota kesepahaman tentang apa yang mereka inginkan.

"Selama 40 tahun saya jadi dosen belum pernah diminta menandatangani nota kesepahaman dengan mahasiswa. Tindakan ini tidak menghormati guru. Mana ada dosen MoU dengan muridnya. Kalau mau menyampaikan aspirasi silakan, semua bisa kita bicarakan," kata Sekretaris Senat Johan S. Masjhur
Komentar Mas Guru :
Anak-anak itu emang ndak ngerti kalo artinya transparan itu bisa ngurangi rezeki.

Peringkat PT dan Delusi Akademik

Kompas ( 23 januari 2008 ). Tahun lalu, sebuah survei global yang dilansir Times Higher Education Supplement atau THES menunjukkan, UI merupakan perguruan tinggi terbaik di Indonesia.

Survei yang sama menunjukkan, kini peringkat UI terjerembab di bawah UGM dan ITB. UI yang sebelumnya di peringkat 250 di antara universitas-universitas di dunia, tahun ini melorot ke peringkat 395. Bagaimana mungkin hanya berselang setahun reputasi akademik institusi ini merosot?


Rupanya tidak hanya UI. Hasil survei tahun 2005, UI pada peringkat ke-420, UGM ke-341, dan ITB ke-408. Tahun 2006, semua meningkat. UI di peringkat 250, ITB ke-258, dan UGM ke-270. Dan, tahun 2007, tiga universitas itu merosot, UGM ke peringkat 360, ITB ke-369, dan UI ke-395.

Tidak netral

Rupanya, tak hanya di Indonesia. Banyak universitas lain di dunia yang seketika mencuat atau melorot puluhan hingga ratusan peringkat (http://uniranks.unifiedself.com). Hanya sejumlah universitas tersohor, seperti University of Oxford, University of Cambridge, dan Harvard University, yang peringkatnya relatif tetap. Mustahil rasanya kualitas pendidikan pasang naik dan surut semudah tertiup angin. Lalu apa yang salah? Tak lain, kacamatanya.

Dalam penelitian THES, peringkat universitas ditentukan dari empat kriteria.

Pertama, kualitas penelitian yang didapat dengan menyebarkan angket kepada para akademisi (peer review, bobot 40 persen), dan dari seberapa banyak penelitian universitas terkait dikutip (citations per faculty, bobot 20 persen).

Pertama, kualitas penelitian yang didapat dengan menyebarkan angket kepada para akademisi (peer review, bobot 40 persen), dan dari seberapa banyak penelitian universitas terkait dikutip (citations per faculty, bobot 20 persen).

Kedua, kesiapan kerja lulusan (graduate employability, bobot 10 persen). Ketiga, jumlah program internasional (bobot 5 persen) dan mahasiswa internasionalnya (bobot 5 persen);

Keempat, rasio staf pengajar dan mahasiswanya (bobot 20 persen).

Dalam peer review, para akademisi diminta menyebutkan 30 universitas terbaik di wilayahnya. Masalahnya, peer review mendapat jatah bobot paling besar, sementara respons para akademisi amat riskan akan bias. Bukankah dimungkinkan, responden bersikap tidak netral dan menjawab berdasar sentimen dan kedekatan terhadap institusi tertentu?

Dari survei THES tahun 2007, ada 21 universitas yang mendapat nilai 100 dalam kriteria ini, tetapi tak semuanya layak. Alex Usher dari Educational Policy Institute di AS berpendapat tidak mungkin kualitas McGill University melebihi UPenn, Stanford, Berkeley, University of Tokyo, dan Ecole Normale Superieur (Educational Policy, 9/11/2007). Usher berkomentar blak-blakan karena ia alumnus McGill.

Pihak THES tidak pernah memaparkan teknik penarikan sampel, tetapi sampel dari penelitian itu jelas tidak merepresentasikan pengenyam pendidikan dari wilayah terkait. Dari 190.000 kuesioner yang dikirimkan, hanya 3.703 yang ditanggapi pada penelitian tahun 2006. Dan, jumlah tanggapan dari suatu negara lebih ditentukan dari tingkat kemampuan warganya untuk mengakses internet. Dari 101 negara yang menanggapi, jumlah penanggap paling banyak dari AS dan Inggris, AS 532 responden dan Inggris 378 responden. Namun, di China hanya 76 penanggap. Di Malaysia (112 penanggap), Singapura (92), dan di Indonesia hanya 93.

Alternatif

Para pengamat memandang, penelitian Shanghai Jiao Tong University (SJT) jauh lebih tepercaya ketimbang milik THES. Pemeringkatan SJT ditinjau dari sejumlah indikator, antara lain: Nobel dan penghargaan yang diterima alumni universitas (bobot 10 persen); Nobel dan penghargaan yang diterima staf akademik (20 persen); jumlah staf yang karyanya dikutip (20 persen); jumlah artikel yang dipublikasikan di jurnal (20 persen); jumlah kutipan terhadap karya-karya itu (20 persen); dan jumlah staf pengajar yang bekerja full-time (10 persen).

SJT menggunakan indikator-indikator yang konkret, sehingga hasil penelitiannya dapat lebih diandalkan. Selain itu, hasil pemeringkatan SJT lebih memacu untuk mengembangkan penelitian dan kultur akademik.

Notabene universitas-universitas di Australia menempati peringkat tinggi dalam survei THES—jumlahnya melebihi Jepang, Perancis, Jerman, Belanda dan negara-negara maju lainnya—bukan karena kualitas pendidikan dan penelitiannya, tetapi karena banyak membuka program internasional.

Meskipun selama ini banyak dikritik, THES tak kunjung merevisi metodologinya. Dan, agak miris rasanya, saat mencari di Google, saya menemukan banyak universitas dari berbagai negara yang berbangga diri karena termasuk universitas tersohor dalam versi THES. Publik negeri ini pun sempat dibuat terkesima karenanya.

Dilihat dari dampaknya, penelitian THES cenderung penelitian yang bermakna politis ketimbang akademis. Meskipun sebuah penelitian tidak bisa sepenuhnya akurat dengan kenyataan, tetapi sebuah pakem etika dalam melakukan penelitian mutlak dibutuhkan. Sebab etika akademik menuntut peneliti untuk selalu awas terhadap penelitiannya, terlebih saat hasilnya berpotensi memengaruhi aspirasi publik.

Bila tidak, sebuah penelitian dapat menyebabkan delusi publik. Lihat, ketika Universiti Malaya anjlok dari peringkat ke-89 pada tahun 2004 ke peringkat 169 tahun berikutnya, publik Malay- sia tersentak. Bermunculan editorial yang mensinyalir menurunnya kualitas pendidikan di negeri Jiran, bahkan sempat menjadi wacana dalam Parlemen.

Bagi kita, akan lebih arif jika kita lebih mawas, mengkaji lebih dulu survei semacam ini secara teliti. Dari sanalah kita menentukan, tolakan manakah yang paling tepat untuk memacu kita mengembangkan pendidikan tinggi di negeri ini.

Ditulis oleh Geger Riyanto, Alumnus Sosiologi, Universitas Indonesia
Komentar Mas Guru :
Betul kata sampean Mas Geger, survey-survey kayak gitu ndak netral, soalnya banyak kepentingan yang bermain di dalemnya. Karena itu ya ndak usah dipercaya dan kita juga ndak perlu jenggot kita terbakar karenanya.