Friday, July 18, 2008

Akibat Terlalu Lama di Dalam WC

Pada saat baru memasuki wc, kita biasanya menutup hidung kita karena ndak tahan baunya. Tapi, lama-kelamaan, kita bisa beradaptasi, bahkan bisa menikmatinya. Buktinya, kita bisa berlama-lama di dalam wc sambil menikmati rokok. Begitu pula dengan jabatan. Ketika pertama kali menduduki suatu jabatan, biasanya kita akan segera mengetahui kebobrokan-kebobrokan yang ada di dalemnya. Namun, jika terlalu lama memegang satu jabatan, kita seringkali justru menjadi biang keladi dari kebobrokan tersebut.

Barangkali itulah gambran dari Shofwan, kadiknas kota Malang. Kemaren, dia didemo rame-rame oleh Aliansi Peduli Pendidikan kota Malang

Guru Minta Kadiknas Dicopot

MALANG - Puluhan guru dan pengurus yayasan pendidikan di Kota Malang kemarin ngluruk gedung DRPD Kota Malang. Mereka menyampaikan aspirasinya pada anggota dewan agar mengevaluasi kinerja Kadis Diknas Kota Malang Shofwan.

Rombongan guru yang tergabung dalam APP (Aliansi Peduli Pendidikan) Kota Malang ini juga mendorong dewan agar mendesak wali kota mencopot Shofwan. Alasannya, jabatan yang diduduki Shofwan sudah terlalu lama. Sehingga, kebijakan yang ditelurkan dinilai stagnan. Utamanya, dalam pengembangan-pengembangan sekolah swasta yang selama ini tak pernah diberi tempat. Di mata APP, Shofwan menganaktirikan keberadaan sekolah-sekolah swasta ini.

"Pengembangan Kota Malang sebagai kota pendidikan butuh kebijakan yang menyegarkan. Kedatangan kami ke sini (dewan) minta agar Pak Shofwan dievaluasi. Sepengetahuan kami, Pak Shofwan itu kadiknas paling abadi dan sakti. Kami ingin Pak Shofwan dicopot saja," kata Edy Prayitno, guru SMK Pradnya Paramita, saat hearing di aula DPRD Kota Malang.

Hadir dalam hearing itu Wakil DPRD Arif Wahyudi, Ketua Komisi D Anang Sulistyo, dan beberapa anggotanya. Di antaranya, Asmuri, Ahmad Taufiq Bambang, Ngatmiati, dan Teguh Mulyono.

Sementara, dari APP ada 76 orang yang berasal dari delapan elemen. Yakni, FKSS (Forum Komunikasi Sekolah Swasta), MBPS (Musyawarah Bersama Perguruan Swasta), Komite Sekolah Swasta, Yayasan Sekolah, PGRI, ECWA (Education Corruption Watch), Fokus Guru, dan PGTTI (Persatuan Guru Tidak Tetap Indonesia) Kota Malang.

Dalam pandangan mereka, pelanggaran yang dilakukan Shofwan sudah banyak. Pada PSB (penerimaan siswa baru) tahun ini misalnya, Shofwan melanggar SK Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur No. 420/2679/108.03/2008 tentang aturan kelas ideal. Kelas reguler satu rombel (rombongan belajar) maksimum 32 siswa, kelas SSN (sekolah standar nasional) 26 siswa, dan kelas SBI (sekolah bertaraf internasional) maksimum 24 siswa. Namun kadiknas justru menginstruksikan satu rombel 40 siswa.

Selain itu, penerapan kuota PSB online yang tidak transparan. Kenyataannya, pagu yang dipasang hanya sekitar 5 persen dan kuota jalur mandiri sangat besar mencapai 95 persen. Kebijakan ini merupakan bentuk penzoliman terhadap siswa berprestasi yang kondisi ekonominya pas-pasan.

Dengan dalih melaksanakan target kota vokasi, Shofwan memberikan instruksi pada kepala sekolah SMK negeri agar tidak menolak siswa. Imbasnya, menyedot input sekolah swasta. Ironisnya lagi, kebijakan itu tidak diimbangi pertumbuhan perusahaan dan industri di Kota Malang sebagai sarana praktik dan penyerapan tenaga kerja.

"Pak Shofwan juga tidak melaksanakan peraturan jabatan kasek. Seharusnya, maksimal jabatan kasek itu hanya dua periode. Tapi kenyataannya, ada kasek jabatannya lama dan sengaja dibiarkan. Contohnya, kasek SMPN 5 (Hadi Hariyanto, Red)," sambung sekretaris Fokus Guru Bibit Waluyo.

Koordinator APP John Nadya Firmana menambahkan, kenaikan pagu pada sekolah negeri yang sampai 10 persen sebagai kebijakan "membunuh" sekolah swasta. Sekolah swasta terkesan dibinasakan perlahan-lahan. "Bagaimana kami bisa maju, kalau hanya disalahkan terus. Yang menyakitkan, begitu angka ketidaklulusan tinggi, kami (sekolah swasta) yang jadi kambing hitamnya," tandas John.

Sekolah swasta, tegas dia, memiliki andil besar dalam membangun bangsa. Namun, dinas pendidikan yang notabene-nya sebagai pemegang kebijakan masih berat sebelah. Selalu yang menjadi prioritas adalah sekolah negeri. "Contoh kecil saja, saat ada pelatihan. Maka yang diberi kesempatan guru-guru negeri. Apa ini fair?" tanyanya.

Wakil DPRD Arif Wahyudi dalam pertemuan itu mengaku cukup senang dengan masukan APP ini. Dalam waktu dekat, dewan akan merapatkan barisan guna mendesak wali kota untuk segera mengganti Shofwan. "Kami akan mengusulkan agar Pak Shofwan diganti. Ya, secepat mungkin," janji Arif di hadapan peserta hearing.

Bagaimana Komisi D? Anang mengatakan, kalau saja komiisnya diberi tahu terlebih dahulu menyangkut hearing itu, maka akan langsung menindaklanjuti dengan memanggil Shofwan. "Kami sudah paham permasalahan yang terjadi. Kami akan mengadakan rapat komisi sekarang (kemarin, Red)," kata Anang setelah hearing berlangsung.

Usai hearing, komisi D langsung menggelar rapat mendadak. Hasilnya, komisi ini akan membawa persoalan Shofwan ini ke rapat paripurna. "Intinya seperti aspirasi dari bawah, ya, mencopot Pak Shofwan. Tapi kami ini kan tidak berhak mencopot. Yang berhak mengganti adalah wali kota. Makanya, kami akan mendesak wali kota," ucapnya.

Mengingat pentingnya persoalan ini, Anang bahkan mengagendakan paripurna bisa digelar setelah masa kampanye. Diperkirakan setelah 20 Juli. "Ya, di masa-masa menjelang pilwali itu. Kalau sekarang kan tidak memungkinkan, karena anggota dewan juga sibuk kampanye," ungkapnya.

Sumber : Radar Malang

Sunday, July 6, 2008

Pilkada dan Janji Pendidikan Gratis

Pendidikan gratis tampaknya merupaken keinginan hampir setiap warga bangsa negeri Endonesya. Yang dimaksud gratis di sini adalah biaya pendidikan ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Yang dimaksudken gratis di sini adalah dana pendidikan diambilken dari APBN maupun APBD, yang memang dana itu adalah dananya rakyat. Wajar toh kalau dana milik rakyat tersebut juga dgunaken untuk dana sebaek-baeknya, daripada dihambur-hamburken untuk korupsinya parta abdi negara yang sebetulnya gajinya sudah lebih dari cukup.

Keinginan ini tampaknya mampu dibaca dengan baek dan cermat oleh calon pimpinan daerah atau pimpinan negara. Tak mengheranken jikalau pada maca kampanye, isu pendidikan gratis selalu diusung oleh para calon pimpinan saat menjelang pemilu.

Pada mulanya rakyat cukup terhibur ketika 'dibuai' dengan isu-isu pendidikan gratis oleh para calon kontestan pemilu. Siapapun kontestannya, ketika dia gembar-gembor soal pendidikan gratis rakyat pasti akan suka. Rakyat akan mendengarken para juru kampanye atau tim sukses dari salah satu kontestan menyenandungken lagu pendidikan gratis. Rakyat mendengarken 'nyanyian merdu' itu dengan mata melek-merem. Saking nikmatnya.

Namun, saat kontestan yang menyanyiken lagu merdu tersebut benar-benar menjadi seorang kepala daerah, lagu itu pun dicampakkannya ke tong-tong sampah. Pendidikan gratis hanyalah fenomena nggedobos belaka. Maka, slogan yang biasa mereka gunaken itu pun berubah bunyi menjadi 'Pendidikan' itu memang mahal. Masyarakat harus turut serta dalam memikul anggaran pendidikan.

Berikut ini adalah keluhan warga akibat 'tertipu' oleh salah satu kontestan pemilu, baik daerah maupun pusat, saat musim pemilu/pilkada :

Ayo Tepati Janji Gratiskan Pendidikan

SETIAP datang masa pendaftaran siswa baru, para orang tua dibuat pusing tujuh keliling. Maklum, meski sudah digembar-gemborkan pendidikan gratis, nyatanya biaya sekolah masih selangit. Tak hanya sekolah swasta, tapi sekolah negeri pun masih menarik biaya relatif tinggi.

Di beberapa daerah, biaya SPP, BP3, atau uang buku memang sudah dihapus. Tapi, seiring dengan penghapusan itu, muncul penarikan biaya dengan hanya berganti nama. Misalnya, biaya SPI atau sumbangan pengembangan institusi, uang pelatihan komputer, uang ekstrakurikuler, dan sebagainya.

Ironisnya, besarnya pungutan yang "berganti baju" tersebut bisa mencapai jutaan rupiah. Bahkan, di Kota Semarang, untuk bisa masuk SMP lewat jalur khusus, orang tua membayar hingga Rp 20 juta. Duh, mahalnya biaya sekolah sekarang.

Padahal, pada setiap kampanye calon bupati, gubernur, ataupun presiden, si calon kerap melontarkan janji-janji pendidikan gratis, pendidikan murah, memperbesar anggaran pendidikan, dan lain-lain. Nyatanya, pendidikan tetap mahal. Janji itu hanya tinggal janji tanpa bukti. Sekarang, rakyat menunggu, kapan pendidikan yang "benar-benar" gratis itu bakal terwujud?

ARIF RIYANTO, Jl Pandean Lamper IV RT 7 RW 6, Peterongan, Semarang

Sumber : Jawa Pos