Sunday, June 8, 2008

Sekolah 'Bertarif' International

Hari itu adalah hari Jum'at. Seperti biasa, sehabis menuaiken sholat jum,'at, kami tidak langsung pulang. Kami ngobrol tentang berbagai hal. Kebetulan hari itu topiknya adalah mengenai ributnya orangtua memikirken sekolah lanjutan anaknya. Salah seorang teman yang ikut dalam obrolan itu, mas Bledheg, seorang guru negeri di salah satu SMKN yang punya kelas SBI menjadi orang yang banyak mendapat pertanyaan saat.

Pertanyaan banyak timbul lantaran, mengapa kelas SBI yang dipunyai sekolahnya biayanya mahal banget. Kayaknya kelas itu hanya untuk orang-orang kaya saja.
"Itu kan menimbulkan diskriminasi Mas. Kalau anak orang kaya saja yang bisa mendapatken pelayanan maksimal dalam pendidikan, maka selamanya anak orang yang ndak kaya seperti anak saya ini tersubordinasiken oleh anak-anak orang kaya itu ?" teriak mas Hadi bernada protes.

"Ah ya ndak gitu mas,"jawab mas Bledheg kalem."Kalau menurut saya, masalah kualitas dari output kelas SBI dan kelas reguler, kayaknya sih ndak beda banget. Memang dari segi kualitas sarana yang disediaken berbeda; kurikulumnya juga ada tambahan-tambahan di kelas SBI; tapi peluang kerja setelah lulus, ya sama saja. Banyak lulusan SBI menjadi pengangguran. Juga banyak lulusan SBI yang ndak berhasil masuk ke PTN. Jadi, apa bedanya ?"
"Lha kalau kualitas lulusannya ndak beda-beda amat, mengapa namanya Sekolah Berstandar Internasional ?" Tanya dik Budi.
"Itu kan salah sampean sendiri di, ngapain SBI dipanjangken menjadi Sekolah Berstandar International." Jawab mas Bledheg dengan enteng.
"Lha kalau bukan itu, memang apa singkatannya Mas ?" tanya di Budi penasaran.
"Kalau menurut saya sih singkatannya Sekolah 'Bertarif' International. Tarifnya saja yang international, mutunya tetep lokal kok. Jadi ya ndak perlu dikhawatirken." Jelas Mas Bledheg.
"Wah,kalau gitu sekolah sampean itu bisa dibilang melakuken penipuan lho Mas," saya mengingatken Mas Bledheg.
"Wah ya ndak dong mas Guru,"potong Mas Bledheg,"Fasilitas dan kurikulumnya kan sedikit beda. Nah karena ada perbedaan, maka wajar toh kalau harganya beda."
"Tapi heran saya, kok animo terhadap kelas SBI itu kok ya tinggi banget ya ?" Celetuk Paklek Bani.
"Saya beritahu rahasianya ya. Tapi,jangan bilang-bilang lho. Nanti saya bisa diskors atau dimutasi kalau kedengaran kepala sekolah saya,"pinta Mas Bledheg."Masyarakat kita itu suka percaya pada yang mahal. Apalagi sedikit dibumbui nuansa-nuansa yang modern dan international.Nah, tahayul-tahayul itu yang benar-benar kami manfaatken. Lumayan ken ?"
"Ah bisa saja sampean mas."Komentar kami nyaris serempak.
"He he he........x 1000." Mas Bledheg terkekeh-kekeh.

No comments: