Thursday, April 3, 2008

Anak Tiri Itu Bernama Sekolah Swasta

Menjelang tahun ajaran baru seperti ini tidak hanya siswa yang dilanda stress dan kebingungan, tapi juga pengelola dan guru-guru, staf TU, kepala sekolah dan murid-murid sekolah swasta juga menderita perasaan yang sama. Barangkali kalau siswa mencemasken tentang unas dan kalau lulus nanti melanjutken kemana yang memiliki prospek kerja yang baek. Ini berbeda dengan kecemasan yang dialami orang-orang yang mengais rezeki dari sebuah institusi yang bernama sekolah swasta ini.

Keresahan ini dipicu oleh sebuah kompetisi yang tidak sehat dan tidak berimbang. Ibarat pertarungan Mike Tyson VS Ellys Pical. Bayangken, sekolah-sekolah negeri yang segala kemegahannya, termasuk gaji guru dan segala tetek-bengeknya dibiaya negara melawan sekolah swasta yang segala pembiayaannya diperoleh dari siswa. Dalam suasana seperti itu, sekolah negeri yang memiliki banyak keunggulan di bidang fasilitas dengan mudahnya memukul KO sekolah-sekolah swasta yang umumnya melarat. Masyarakat pasti memilih sekolah negeri. Akibatnya, banyak sekolah swasta sekarat.

Kondisi itu diperparah oleh kerakusan sekolah-sekolah negeri yang menerima siswa baru seolah tanpa batas - meski untuk itu sebagian siswanya harus sekolah sore - akan mempercepat 'penghapusan' sekolah-sekolah swasta dari muka bumi Indonesia. Ditambah lagi, bantuan-bantuan dana pendidikan dari pemerintah kebanyakan dilolohkan ke mulut sekolah-sekolah negeri. Maka, sempurnalah tonjokan pemerintah untuk segera meng KO sekolah-sekolah swasta. Padahal, ketika pemerintah masih belum mampu melaksanakan tanggung jawab mendidik bangsanya yang berusia muda, mereka merengek-rengek supaya swasta bersedia membantu pemerintah mencerdaskan bangsa.

Namun, ketika anggaran pendidikan dibengkakken, sifat rakus pun mulai tumbuh subur. Demi untuk meraup rezeki besar, baek yang berasal dari siswa maupun dari dana bantuan, pengelola sekolah negeri pun dengan ngawur menerima siswa sebanyak-banyaknya. Karena, menurut rumusan mereka, semakain banyak jumlah murid, maka semakin besar dana dari siswa yang masuk ke kantung sekolah. Juga, semakin banyak siswa, maka dana bantuan dan berbagai proyek juga semakin besar mengucur.

Padahal, kebijakan menerima murid sebesar-besarnya seperti itu jelas merugiken masyarakat. Bayangken, dengan penambahan jumlah guru yang tidak terlalu signifikan, mereka melipat-gandaken penerimaan siswa baru. Akibatnya, banyak guru mengeluh karena semakin beratnya beban mereka. Bahkan, kondisi demikian sering mengakibatkan guru-guru harus mengajar pada pelajaran yang bukan bidangnya.

Belum lagi mengenai siswa-siswa yang harus masuk sore hari karena kelas yang ada tidak mencukupi. Dengan masuk sore, jumlah jam sekolah mereka pasti akan semakin kurang. Mana mungkin bisa diharap mutu siswa-siswa di sekolah semacam itu akan bisa baek. Mbelgedes !!!

Hari ini, shohib saya Pak Ishom dan Pak Heru - Ketua dan Sekretaris BMPS - menyuarakan keprihatinan sekolah-sekolah swasta atas fenomena di atas. Tapi saya, maaf Pak Ishom dan Pak Heru , ndak yakin suara Anda didengar oleh saudara-saudara kita yang sedang diberi amanah oleh Allah untuk mengendalikan pendidikan di kota kita.

Beritanya sebagai berikut :

Keresahan Landa Sekolah Swasta

MALANG- Rio-bukan nama sebenarnya, adalah salah satu siswa kelas I SMA Arjuno Kota Malang. Di kelasnya, hanya ada 13 teman lain karena total siswa kelas I hanya 14 orang.

Dibanding kelas II yang mencapai dua kelas, suasana kelas I sepi. Meski begitu, Rio dan teman-temannya selalu setiap berangkat ke sekolah. Masuk kelas dan mengikuti pelajaran jam demi jam sampai bel tanda pulang berbunyi.

"Yang penting tetap semangat belajar," ujarnya singkat, kemarin.

Hal senada diungkapkan Dewi, siswi lain. Melihat SMA dengan jumlah siswa banyak, memang ada sedikit rasa minder. Apalagi, jika dibandingkan dengan SMA negeri, favorit pula. Rasanya, sekolah di swasta jauh dari kesan berarti.

"Sekolah favorit biayanya mahal. Swasta akhirnya jadi pelarian, yang penting bisa sekolah," kata Dewi.

Adi Siswoyo, salah satu guru SMA swasta Kota Malang mengatakan, fakta seperti itu bukan hal asing lagi bagi sekolah swasta. Terutama SMA swasta yang kini dalam kondisi hidup enggan mati tak mau. Tidak hanya siswa yang merasa terpinggirkan. Guru pun merasakan hal sama.

"Sebuah dilema besar sebenarnya bagi sekolah swasta kecil," kata dia.

Adi mengungkapkan, kasus semakin habisnya peminat sekolah swasta, terutama SMA tidak hanya dialami satu atau dua sekolah. Berdasarkan pengamatannya, masih ada sekolah-sekolah swasta lain bernasib sama. Tapi, tidak ada yang bisa dilakukan kecuali terus berbenah agar peminat sekolah tak semakin habis.

"Kalau kebijakan tak mendukung, sekolah golongan ini akan kolaps 5-6 tahun kedepan," tandasnya.

Penurunan jumlah siswa SMA swasta kecil, kata dia, baru terjadi dalam kurun tiga tahun belakangan ini. Kondisi tersebut semakin parah saat pemerintah menggulirkan aturan agar sekolah kejuruan diperbanyak. Kota Malang tak luput dari imbas kebijakan tersebut bahkan menjadi pilot project pengembangan vokasi.

"Solusi ini sangat bagus. Hanya, faktanya memang menurunkan minat siswa untuk masuk SMA," beber Adi.

Apalagi, kebijakan di kota ini, siswa yang tak tertampung di SMA negeri bisa masuk SMK. Begitu juga dengan siswa SMP tak lulus UN. Praktis, kebijakan itu membuat celah SMA swasta semakin sempit. Karena input siswa baru lari ke SMK. Meski begitu, alumi IKIP Malang itu cukup yakin, saatnya nanti SMA tetap diminati. "Dengan bekal ijazah paket B, mereka bisa masuk SMK negeri," kata dia.

Salah satu kasek SMA swasta yang enggan dikorankan namanya juga berpendapat sama. Dengan kondisi siswa semakin minim, harapan untuk mendapat bantuan pun melayang. Sebab, aturannya, sekolah swasta yang bisa mendapatkan block grant atau bantuan pemerintah, minimal memiliki 120 siswa.

Di bawah itu, tidak bisa mengajukan proposal. "Sulit. Harusnya sekolah seperti ini yang harus dibantu. Tapi malah tidak bisa mendapat bantuan dengan alasan administrasi," kata laki-laki paro baya tersebut.

Fakta tersebut menurut Drs Mohammad Ishom Ihsan MPd, Ketua Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) merupakan fenomena. Meski belum terjadi secara ekstrem dan menyebabkan sekolah swasta gulung tikar, namun para pengelola mulai resah.

"Kami membaca tren ini akan terus menurun di tahun-tahun mendatang. Terus terang kami khawatir," kata, kemarin.

Indikasi yang paling nyata, kata Ishom, adalah berkurangnya jumlah murid SMA swasta. Di tahun 2006/2007, masih ada 11 ribuan siswa. Setahun setelahnya, langsung melorot di angka 9 ribuan. Begitu pula dengan SMK swasta. Di tahun ajaran 2005/2006, masih ada 12 ribuan siswa. Namun pada tahun 2007/2008 turun menjadi 11 ribuan siswa.

"Di tingkat TK juga turun. Tiga ribuan. Dari 18 ribu menjadi 15 ribuan," kata Sekretaris LP3 Universitas Negeri Malang ini.

Dengan kondisi itu, perkumpulan dari yayasan dan lembaga yang menaungi sekolah swasta ini berupaya untuk meminta perlindungan pemkot. Caranya dengan mengusulkan regulasi (Perwakot) khusus untuk sekolah swasta. Regulasi yang diminta juga akan diusulkan apabila ada revisi perda pendidikan 13/2001.

"Kami harus meminta perlindungan pemerintah. Kalau tidak, banyak di antara kami yang gulung tikar," ungkap Ishom.

Menurut Kepala Sekolah SD Sabilillah ini, upaya untuk meminta perlindungan pemkot karena ketakutan bahwa sekolah negeri akan "menghabisi" sekolah swasta. Kekhawatiran itu berdasarkan adanya mekanisme pasar yang saat ini terjadi di masyarakat.

Calon murid selalu berlomba bersekolah di sekolah negeri. Sementara sekolah negeri juga belum 100 persen dibatasi kuotanya dalam menerima murid baru. Dengan berbagai macam tawaran keunggulan yang ada di sekolah negeri, kemungkinan besar pasar calon murid akan memihak pada sekolah negeri.

"Kondisi ini yang tidak kami harapkan. Kalau mekenisme pasar bebas diterapkan, berapa banyak sekolah swasta yang akan gulung tikar," ujar Ishom.

Heru Suyanto, Sekretaris BMPS memandang, pasar bebas itu salah satunya tercermin pada sistem PSB (penerimaan siswa baru) secara online. Sekolah swasta yang mengikuti sistem online sepertinya hanya mendapat "sisa" dari calon murid yang diterima di sekolah negeri. Karena mendapat sisa, bisa jadi nilai UAN dan kemampuan siswa yang masuk swasta lebih rendah dari yang masuk negeri.

"Kalau seperti itu, begitu sisa dari sekolah engeri tidak ada, habislah sekolah swasta ini," kata Heru.

Mewakili rekan-rekannya, Heru berkeinginan agar pemkot melalui Diknas Kota Malang melindungi eksistensi sekolah swasta yang lemah.

Bentuk perlindungannya seperti memberikan kuota dan batasan yang jelas jumlah siswa yang diterima di sekolah negeri. Setelah itu, biarlah yang tidak tertampung di sekolah negeri menimba ilmu di sekolah swasta.

"Fungsi sekolah swasta juga tidak kecil. Hampir separo siswa didik sekolah di swasta. Jadi kalau ada yang hampir mati, bisa ditolong," harap Ishom.

Untuk mencari perlindungan ini, Ishom mengaku tahap awal adalah melakukan road show. Yakni ke Kepala Diknas (Kadiknas) Kota Malang Shofwan, ke anggota komisi D DPRD bidang pendidikan dan ke wali kota. Selanjutnya MBPS akan menindaklanjuti dengan mengajukan poin-poin harapan agar bisa dimasukkan dalam sebuah regulasi atau kebijakan.

"Kami juga akan mengoreksi diri terhadap perguruan swasta yang lemah dan tidak mungkin dipertahankan. Misalnya dengan merger atau likuidasi," katanya.

Sumber : Radar Malang edisi 3 April 2008.

No comments: