Barangkali hampir setiap orang yang sedikit dewasa pasti pernah dengar adagium 'tidak ada yang abadi dalam politik'. Pilihan menjadi kawan atau lawan bergantung pada kepentingannya. Yang cocok dengan kepentingan, akan dipilih menjadi kawan. Sebaliknya, yang bertentangan dengan kepentingan dipastiken bakal menjadi lawan. Mas Guru kira ini bukanlah rahasia. Semua orang tahu.
Aneh bin ajaib, politikus selevel Firman Subagyo, yang saat ini menjabat Ketua DPP Partai Golkar, merasa nggumun umun-umun ketika Bung Harmoko, pemilik hak paten 'menurut petunjuk Bapak Presiden' ujug-ujug ikut andil dalam pendirian partai baru Partai Kerakyatan Nasional (PKN). Menurut Bagyo, harusnya Harmoko risi pada diri sendiri kalau pada mendirikan partai baru.
Beritanya sebagai berikut :
Petinggi Golkar Kecewa pada Harmoko
Dirikan PKN Dinilai Beri Contoh Tidak Baik
JAKARTA - Ikut andilnya Harmoko dalam pendirian Partai Kerakyatan Nasional (PKN) mengecewakan sejumlah petinggi Partai Golkar. Sebab, mantan menteri penerangan pada era Orde Baru itu pernah memegang posisi puncak Golkar.
Bahkan, Harmoko menjadi ketua umum pertama di kubu beringin yang berasal dari kalangan sipil, meski posisi itu diperoleh melalui penunjukan Soeharto. "Tokoh-tokoh yang termasuk pinisepuh di Partai Golkar seharusnya risi pada diri sendiri kalau pada mendirikan partai baru," kata Ketua DPP Partai Golkar Firman Subagyo di Jakarta kemarin (20/4).
Menurut dia, komitmen tokoh-tokoh senior sangat diperlukan untuk ikut membesarkan serta memperkuat posisi Partai Golkar.
Firman lantas membandingkan sikap Harmoko dengan kembalinya sejumlah kader Partai Golkar yang pernah dipecat pada 2004 karena melawan garis kebijakan partai. Salah seorang korban pemecatan itu tak lain adalah dirinya. Gara-garanya, pada pilpres putaran kedua, mereka ikut mendukung pasangan SBY-Kalla.
Padahal, Partai Golkar yang saat itu dipimpin Akbar Tandjung secara resmi mengalihkan dukungan kepada pasangan Mega-Hasyim. Pilihan untuk melempar suara massa beringin ke Mega-Hasyim diambil setelah Wiranto-Salahuddin Wahid yang diusung Partai Golkar gagal lolos putaran pertama. "Kalau yang junior saja komitmennya tinggi, lah yang senior kok malah memberi contoh yang tidak baik," ujarnya.
Dia menegaskan, sesuai AD/ART Partai Golkar, keanggotaan seseorang di Partai Golkar gugur dengan sendirinya jika orang itu menjadi anggota partai lain. "Termasuk keanggotaan sebagai pinisepuh Partai Golkar," tegasnya.
Meski begitu, Firman tetap menghargai hak setiap warga negara untuk mendirikan partai politik yang dilindungi konstitusi dan undang-undang. "Jadi, biarkan rakyat yang menguji. Mereka sudah cerdas," kata wakil ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Golkar tersebut.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar Ferry Mursydan Baldan juga menyayangkan langkah Harmoko. Meski setiap warga negara berhak mendirikan parpol, dia menilai seharusnya Harmoko tidak ikut-ikutan. Apalagi, mantan ketua MPR itu pernah menjadi ketua umum DPP Golkar 1994-1999. "Kalau ingin mengabdi kepada bangsa dan negara, kan tetap bisa lewat Partai Golkar yang dulu pernah dia pimpin," kata mantan ketua Pansus RUU Pemilu Legislatif itu.
Menurut Ferry, ruang pendirian parpol baru sebaiknya menjadi ruang bagi masyarakat yang belum pernah berpartai. Dengan demikian, pertumbuhan partai baru benar-benar membawa angin segar bagi bangsa, tidak malah berjalan di tempat. "Bukan sekadar daur ulang dengan baju baru," tegasnya.
Sumber : Jawa Pos
Barangkali yang perlu direnungkan mungkin saja Harmoko telah tobat???
No comments:
Post a Comment