Terimbas oleh eforia otoda, pengelola berbagai PTN tampaknya mulai gelap mata. Gambaran ini bisa kita lihat pada saat para rektor PTN memutusken untuk tidak menggunaken model SPMB seperti tahun-tahun sebelumnya, dan kembali ke model UMPTN. Alasannya saat itu, karena dengan SPMB dana dari calon mahasiswa tidak masuk ke kas negara.
Jika dipikir lebih jauh, sebetulnya alasan itu terasa dibuat-buat. Karena, meski dana tersebut dimasukken ke kas negara, toh akhirnya mereka ambil kembali. Tapi, biarlah kita tidak mempersoalken itu.
Yang justru menjadi pikiran kita adalah dengan otonomi penerimaan mahasiswa baru ada di tangan mereka, justru akan banyak pihak yang dirugiken. Dengan otonomi tersebut, hampir semua PTN menaikken jumlah kuota penerimaan mahasiswa barunya. Penambahan kuota ini umumnya tidak dibarengi dengan penambahan fasilitas, dosen dan lain sebagainya. Bisa diprediksi bahwa tanpa penambahan fasilitas dan dosen, minimal, penambahan kuota tersebut akan merugiken mahasiswa. Karena jumlah dosen dan fasilitas yang sama akan dipergunaken untuk melyani jumlah mahasiswa yang lebih besar. Kondisi ini pasti akan menurunken kualitas pelayanan.
Dari situ bisa kita simpulken bahwa PTN lebih mementingkan income ( pendapatan dana ) daripada kualitas lulusannya. Kalau saat ini sering dikatakaken kualitas lulusan kita terkategori kurang baek, bagaimana jika pelayanan institusi pendidikan tinggi diturunken ? Pasti kualitasnya akan lebih jeblok.
Selaen merugiken mahasiswa, kebijakan menaikken kuota tersebut juga merugiken PTS yang selama ini juga turut berjuang mencerdasken bangsa. Kita semua barangkali sudah mahfum kalau masyarakat kita masih lebih mempercayai kualitas PTN daripada PTS, meski asumsi tersebut tidak selalu benar. Dengan ditambah kuotanya, otomatis lebih jumlah lulusan SLTA akan banyak terserap PTN, sementara PTS akan semakin sulit mendapatkan calon mahasiswa baru. Jika ini diterusken, di masa yang akan dateng pasti akan banyak PTS bangkrut. Padahal mereka ini sudah punya sarana, dosen, pengalaman dan pengabdian. Apakah hal ini tidak menjadi pertimbangan para rektor PTN ? Juga apakah tidak dipertimbangken nasib dosen-dosen PTS yang selama ini mengandalken hidup dari pekerjaan mengajar jika sampai institusi tempat mereka mengabdi bangkrut ?
Memang ada omongan dari kalangan PTN, bahwa kalau mau survive ya harus bertarung secara sehat dan terbuka. Mari kita pertimbangken, sehatkah pertarungan antara PTN dan PTS dalam kondisi seperti sekarang ? Selama ini PTN telah banyak mendapatken dana dari pemerintah : mulai gaji dosen, biaya operasional, pembangunan fasilitas dan laen sebagainya. Sehingga, semua PTN dipastiken memiliki modal bersaing yang amat memadai. Sementara PTS ? Dana utama untuk gaji dosen, operasional maupun pengembangan sebagian besar hanya dari uang mahasiswa. Sehingga, sarana dan prasarana yang dimiliki umumnya jauh dari kata memadai jika dibandingken dengan yang dimiliki PTN. Jika dipaksa bersaing dengan PTN dalam menggalang calon mahasiswa baru, ibarat pertarungan gajah dengan semut. Apakah ini yang disebut persaingan yang sehat ?
Menyikapi hal ini, mau tidak mau, PTS-PTS harus mengembangken berbagai kiat untuk mendapatken mahasiswa baru. Berikut ini ada beberapa kita yang telah dilakuken PTS-PTS di Malang :
PTS Pasang Kuda-Kuda
MALANG - Pengelola PTS di Malang menguatkan barisan internal lembaganya menghadapi PTN yang menambah kuota mahasiswa nonreguler. Terobosan-terobosan pun disiapkan.
Unisma misalnya. Tahun ini kampus di kawasan Dinoyo ini tidak menaikkan biaya pendidikan bagi mahasiswa baru. "Mau tidak mau harus ada terobosan baru. Tidak hanya menggairahkan prodi yang mulai sepi peminat, tapi juga tidak menaikkan biaya (pendidikan)," tegas Rektor Unisma Dr Ir Abdul Mukri Prabowo Senin (28/4) kemarin.
Sementara, STIE MCE (Malang Kucecwara) kini konsentrasi "menjual" lulusannya. Aspek ini dinilai bisa masuk menjadi pertimbangan masyarakat dalam memilih PTN. "Sebelum lulus, alumni kami imbangi dengan materi soft skills," ujar Ali Lating, humas STIE MCE kemarin (30/4).
Upaya tersebut tak cukup berhenti di situ. Saat wisuda, STIE MCE telah menyiapkan strategi baru. Yakni, melakukan rekrutmen tenaga kerja di kampus. Caranya, dengan mengundang sejumlah perusahaan besar untuk menyeleksi lulusan STIE MCE sesuai kebutuhan perusahaan tersebut. "Memang baru tahun pertama. Kami yakin, upaya ini akan menambah nilai plus bagi masyarakat dalam memilih PTS," katanya.
Hal yang sama juga dilakukan Universitas Kanjuruhan (Unikan) Malang. Rektor Unikan Drs Amir Sutedjo SH MPd mengatakan, menyikapi persaingan maba, Unikan lebih memilih jemput bola. Artinya, manajemen melakukan terobosan langsung dengan kampanye di berbagai daerah. Tidak hanya di Jawa Timur, tapi juga kawasan Indonesia timur. Untuk maba dari Indonesia timur, pihaknya menjemput langsung di pelabuhan Ketapang, Banyuwangi.
"Sampai di Malang, kami tampung dan diberi uang saku sampai dapat pondokan tetap," ujar Tedjo, sapaan akrab Amir Sutedjo.
Langkah lain, lembaga ini juga merombak tampilan fisik dan kurikulum sekaligus. Bahkan, beberapa ruang kuliah dipantau langsung dengan kamera CCTV. "Selain promosi, kami terus menggalakkan budaya penjaminan mutu," tandas dia.
Sumber Jawa Pos edisi Kamis, 2 Mei 2008
Jika dipikir lebih jauh, sebetulnya alasan itu terasa dibuat-buat. Karena, meski dana tersebut dimasukken ke kas negara, toh akhirnya mereka ambil kembali. Tapi, biarlah kita tidak mempersoalken itu.
Yang justru menjadi pikiran kita adalah dengan otonomi penerimaan mahasiswa baru ada di tangan mereka, justru akan banyak pihak yang dirugiken. Dengan otonomi tersebut, hampir semua PTN menaikken jumlah kuota penerimaan mahasiswa barunya. Penambahan kuota ini umumnya tidak dibarengi dengan penambahan fasilitas, dosen dan lain sebagainya. Bisa diprediksi bahwa tanpa penambahan fasilitas dan dosen, minimal, penambahan kuota tersebut akan merugiken mahasiswa. Karena jumlah dosen dan fasilitas yang sama akan dipergunaken untuk melyani jumlah mahasiswa yang lebih besar. Kondisi ini pasti akan menurunken kualitas pelayanan.
Dari situ bisa kita simpulken bahwa PTN lebih mementingkan income ( pendapatan dana ) daripada kualitas lulusannya. Kalau saat ini sering dikatakaken kualitas lulusan kita terkategori kurang baek, bagaimana jika pelayanan institusi pendidikan tinggi diturunken ? Pasti kualitasnya akan lebih jeblok.
Selaen merugiken mahasiswa, kebijakan menaikken kuota tersebut juga merugiken PTS yang selama ini juga turut berjuang mencerdasken bangsa. Kita semua barangkali sudah mahfum kalau masyarakat kita masih lebih mempercayai kualitas PTN daripada PTS, meski asumsi tersebut tidak selalu benar. Dengan ditambah kuotanya, otomatis lebih jumlah lulusan SLTA akan banyak terserap PTN, sementara PTS akan semakin sulit mendapatkan calon mahasiswa baru. Jika ini diterusken, di masa yang akan dateng pasti akan banyak PTS bangkrut. Padahal mereka ini sudah punya sarana, dosen, pengalaman dan pengabdian. Apakah hal ini tidak menjadi pertimbangan para rektor PTN ? Juga apakah tidak dipertimbangken nasib dosen-dosen PTS yang selama ini mengandalken hidup dari pekerjaan mengajar jika sampai institusi tempat mereka mengabdi bangkrut ?
Memang ada omongan dari kalangan PTN, bahwa kalau mau survive ya harus bertarung secara sehat dan terbuka. Mari kita pertimbangken, sehatkah pertarungan antara PTN dan PTS dalam kondisi seperti sekarang ? Selama ini PTN telah banyak mendapatken dana dari pemerintah : mulai gaji dosen, biaya operasional, pembangunan fasilitas dan laen sebagainya. Sehingga, semua PTN dipastiken memiliki modal bersaing yang amat memadai. Sementara PTS ? Dana utama untuk gaji dosen, operasional maupun pengembangan sebagian besar hanya dari uang mahasiswa. Sehingga, sarana dan prasarana yang dimiliki umumnya jauh dari kata memadai jika dibandingken dengan yang dimiliki PTN. Jika dipaksa bersaing dengan PTN dalam menggalang calon mahasiswa baru, ibarat pertarungan gajah dengan semut. Apakah ini yang disebut persaingan yang sehat ?
Menyikapi hal ini, mau tidak mau, PTS-PTS harus mengembangken berbagai kiat untuk mendapatken mahasiswa baru. Berikut ini ada beberapa kita yang telah dilakuken PTS-PTS di Malang :
PTS Pasang Kuda-Kuda
MALANG - Pengelola PTS di Malang menguatkan barisan internal lembaganya menghadapi PTN yang menambah kuota mahasiswa nonreguler. Terobosan-terobosan pun disiapkan.
Unisma misalnya. Tahun ini kampus di kawasan Dinoyo ini tidak menaikkan biaya pendidikan bagi mahasiswa baru. "Mau tidak mau harus ada terobosan baru. Tidak hanya menggairahkan prodi yang mulai sepi peminat, tapi juga tidak menaikkan biaya (pendidikan)," tegas Rektor Unisma Dr Ir Abdul Mukri Prabowo Senin (28/4) kemarin.
Sementara, STIE MCE (Malang Kucecwara) kini konsentrasi "menjual" lulusannya. Aspek ini dinilai bisa masuk menjadi pertimbangan masyarakat dalam memilih PTN. "Sebelum lulus, alumni kami imbangi dengan materi soft skills," ujar Ali Lating, humas STIE MCE kemarin (30/4).
Upaya tersebut tak cukup berhenti di situ. Saat wisuda, STIE MCE telah menyiapkan strategi baru. Yakni, melakukan rekrutmen tenaga kerja di kampus. Caranya, dengan mengundang sejumlah perusahaan besar untuk menyeleksi lulusan STIE MCE sesuai kebutuhan perusahaan tersebut. "Memang baru tahun pertama. Kami yakin, upaya ini akan menambah nilai plus bagi masyarakat dalam memilih PTS," katanya.
Hal yang sama juga dilakukan Universitas Kanjuruhan (Unikan) Malang. Rektor Unikan Drs Amir Sutedjo SH MPd mengatakan, menyikapi persaingan maba, Unikan lebih memilih jemput bola. Artinya, manajemen melakukan terobosan langsung dengan kampanye di berbagai daerah. Tidak hanya di Jawa Timur, tapi juga kawasan Indonesia timur. Untuk maba dari Indonesia timur, pihaknya menjemput langsung di pelabuhan Ketapang, Banyuwangi.
"Sampai di Malang, kami tampung dan diberi uang saku sampai dapat pondokan tetap," ujar Tedjo, sapaan akrab Amir Sutedjo.
Langkah lain, lembaga ini juga merombak tampilan fisik dan kurikulum sekaligus. Bahkan, beberapa ruang kuliah dipantau langsung dengan kamera CCTV. "Selain promosi, kami terus menggalakkan budaya penjaminan mutu," tandas dia.
Sumber Jawa Pos edisi Kamis, 2 Mei 2008
No comments:
Post a Comment