Saturday, February 23, 2008

ANALISIS : Pendidikan (Terancam) Mundur

( Kedaulatan Rakyat, 23 Februari 2008 ) KETIKA Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 2002 mengamandemen Pasal 31 UUD 1945 muncul harapan terjadinya perbaikan dunia pendidikan nasional. Secara eksplisit, UUD hasil amandemen keempat itu menyuratkan, anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD (Pasal 31 ayat 4). Harapan semakin menyeruak ketika UU Sisdiknas (2003) menegaskan bahwa angka 20% itu tidak termasuk pembayaran gaji pendidik (Pasal 49 ayat 1).

Belum lagi angka 20% itu tercapai, ada gugatan melalui Mahkamah Konstitusi (MK), yang menuntut agar 20% itu termasuk gaji pendidik. Ternyata MK (20/2) memenuhi tuntutan peninjauan itu. Dengan dipenuhinya tuntutan tersebut maka alokasi anggaran pendidikan dalam APBN saat ini langsung ”melonjak” dari 11,8% menjadi 18%! Padahal, tak serupiah pun anggaran tersebut bertambah. Yang berubah bukan nilai riil atau substansinya, tetapi definisi atau terminologinya saja!!


Tentu saja ini mengubur asa terjadinya akselerasi pendidikan nasional. Susah diharapkan pemerintah akan mengalokasikan lebih banyak anggaran pendidikan. Padahal, kebutuhan dana untuk memperbaiki fasilitas dan mutu pendidikan di tanah air masih sangat besar.
Adakah ini akan selalu membuat kita menjadi bangsa tertinggal dan tetap pelit untuk alokasikan budget untuk pendidikan? Mungkin saja. Bayangkan, dibandingkan dengan negara sebaya di ASEAN kita sudah paling kecil budget pendidikannya. UNDP mencatat, selama periode 1990-1995 anggaran pendidikan Indonesia terhadap PDB hanya 1,27%, sementara Thailand 3,80%, Malaysia 4,87%, dan Vietnam 2,32%. Urutan ini tidak banyak berubah sampai sekarang.
Dengan kepelitan anggaran pendidikan itu, tidak mengherankan kalau berbagai indikator sosial-ekonomi kita rendah dibandingkan negara lain. Seperti Indeks Pembangunan Manusia (HDI), Indeks Daya Saing, Indeks Pencapaian Teknologi, dan sebagainya, kita selalu berada pada peringkat menengah bawah, atau bahkan terbawah. Perbaikan terhadap indeks-indeks ini sempat muncul dengan adanya keharusan pemerintah menaikkan anggaran pendidikan sampai minimal 20% dari APBN dan APBD-nya.

Namun harapan ini bisa surut kembali dengan keputusan MK tersebut. Bayangkan, Malaysia yang sudah maju saja anggaran pendidikan di luar gaji sudah 25%. Sementara Filipina dan Thailand masing-masing sudah 20 dan 22%. Dengan uji materi terhadap UU Sisdiknas itu, terbayang di depan perbaikan pendidikan nasional kita melambat kembali. Prasarana fisik, penyediaan materi ajar, beasiswa, pelatihan-pelatihan dan sebagainya, bisa jadi akan melambat perkembangannya.

Wajar jika kita khawatir akselerasi yang sudah mulai muncul sejak amandemen tersebut akan melemah dengan tidak adanya paksaan bagi penyelenggara negara menaikkan anggaran hingga 20% di luar gaji. Karena dengan keputusan MK itu, ibarat pencet tombol, otomatis anggaran pendidikan sudah mendekati 20% dan kemudian stagnan porsinya.
Wajar pula dengan keputusan MK ini kita bertanya, buat apa amandemen UUD 1945 kalau secara riil tak mengubah nilai anggaran pendidikan itu? Apakah amandemen sekadar bermain kata-kata saja? Sekadar menambahkan pos yang tadinya di luar anggaran pendidikan masuk ke dalam pos pendidikan? Pasti bukan demikian maunya rakyat negeri ini!

Apa upaya selanjutnya?
Saya kira kita perlu berpikir, menguji kembali keputusan MK ini. Jangan-jangan ini juga bertentangan dengan konstitusi kita, UUD 1945, yang secara tegas menyatakan ”Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. Tidak ada kata yang menjelaskan ‘gaji pendidik’ masuk di dalamnya. Silahkan ahli hukum yang bisa mengutak-atiknya.

Ditulis Oleh Edy Suandi Hamid,Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Rektor UII Yogyakarta.

Komentar Mas Guru :
Mungkin MK berpikir, zaman penjajah dulu sekolah dibiayai masyarakat sendiri, toh muridnya juga pinter-pinter. Gitu aja kok repot !!! ( Sorry Gus, anne niru )




No comments: