Sunday, July 6, 2008

Pilkada dan Janji Pendidikan Gratis

Pendidikan gratis tampaknya merupaken keinginan hampir setiap warga bangsa negeri Endonesya. Yang dimaksud gratis di sini adalah biaya pendidikan ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Yang dimaksudken gratis di sini adalah dana pendidikan diambilken dari APBN maupun APBD, yang memang dana itu adalah dananya rakyat. Wajar toh kalau dana milik rakyat tersebut juga dgunaken untuk dana sebaek-baeknya, daripada dihambur-hamburken untuk korupsinya parta abdi negara yang sebetulnya gajinya sudah lebih dari cukup.

Keinginan ini tampaknya mampu dibaca dengan baek dan cermat oleh calon pimpinan daerah atau pimpinan negara. Tak mengheranken jikalau pada maca kampanye, isu pendidikan gratis selalu diusung oleh para calon pimpinan saat menjelang pemilu.

Pada mulanya rakyat cukup terhibur ketika 'dibuai' dengan isu-isu pendidikan gratis oleh para calon kontestan pemilu. Siapapun kontestannya, ketika dia gembar-gembor soal pendidikan gratis rakyat pasti akan suka. Rakyat akan mendengarken para juru kampanye atau tim sukses dari salah satu kontestan menyenandungken lagu pendidikan gratis. Rakyat mendengarken 'nyanyian merdu' itu dengan mata melek-merem. Saking nikmatnya.

Namun, saat kontestan yang menyanyiken lagu merdu tersebut benar-benar menjadi seorang kepala daerah, lagu itu pun dicampakkannya ke tong-tong sampah. Pendidikan gratis hanyalah fenomena nggedobos belaka. Maka, slogan yang biasa mereka gunaken itu pun berubah bunyi menjadi 'Pendidikan' itu memang mahal. Masyarakat harus turut serta dalam memikul anggaran pendidikan.

Berikut ini adalah keluhan warga akibat 'tertipu' oleh salah satu kontestan pemilu, baik daerah maupun pusat, saat musim pemilu/pilkada :

Ayo Tepati Janji Gratiskan Pendidikan

SETIAP datang masa pendaftaran siswa baru, para orang tua dibuat pusing tujuh keliling. Maklum, meski sudah digembar-gemborkan pendidikan gratis, nyatanya biaya sekolah masih selangit. Tak hanya sekolah swasta, tapi sekolah negeri pun masih menarik biaya relatif tinggi.

Di beberapa daerah, biaya SPP, BP3, atau uang buku memang sudah dihapus. Tapi, seiring dengan penghapusan itu, muncul penarikan biaya dengan hanya berganti nama. Misalnya, biaya SPI atau sumbangan pengembangan institusi, uang pelatihan komputer, uang ekstrakurikuler, dan sebagainya.

Ironisnya, besarnya pungutan yang "berganti baju" tersebut bisa mencapai jutaan rupiah. Bahkan, di Kota Semarang, untuk bisa masuk SMP lewat jalur khusus, orang tua membayar hingga Rp 20 juta. Duh, mahalnya biaya sekolah sekarang.

Padahal, pada setiap kampanye calon bupati, gubernur, ataupun presiden, si calon kerap melontarkan janji-janji pendidikan gratis, pendidikan murah, memperbesar anggaran pendidikan, dan lain-lain. Nyatanya, pendidikan tetap mahal. Janji itu hanya tinggal janji tanpa bukti. Sekarang, rakyat menunggu, kapan pendidikan yang "benar-benar" gratis itu bakal terwujud?

ARIF RIYANTO, Jl Pandean Lamper IV RT 7 RW 6, Peterongan, Semarang

Sumber : Jawa Pos

3 comments:

Koncone Dewe said...

wis males nulis maneh mas guru...
lek males nulis smedi ae mas guru..
sing suwe ben oleh inspirasi...
ha..ha..ha..

Mas Guru said...

Iya Kus, pikiran sik ruwet........

Dr.Qbul said...

berkunjung ke blog sahabat, piye aku pengen Berguru urung eneng update terbaru