Thursday, June 4, 2009

Coret Siswa yang Curangi UN, oh nasib....

Demikian judul berita harian Radar Malang edisi 3 Juni 2009. Isi berita tersebut secara garis besar adalah 3 institusi pendidikan tinggi negeri di Malang akan mencoret nama lulusan SMA yang telah melakuken kecurangan dalam Unas dari daftar PMDK. Karena yang disinyalir melakuken kecurangan ada 33 SMA, maka seluruh lulusan dari ke 33 SMA tersebut 'diharomken' masuk UB, UM dan UIN Maulana Malik Ibrahim.
Berita tersebut tentu cukup menyakitken bagi lulusan ke 33 SMA tersebut. Dan ancaman itu tidak hanya diperuntukken bagi siswa-siswa yang baru lulus doang. Siswa yang akan lulus di tahun-tahun mendatang juga tidak luput dari ancaman tersebut.

Rektor Universitas Brawijaya (UB) Prof Yogi Sugito kemarin mengatakan, ada siswa dari dua sekolah itu yang telah diterima di UB melalui jalur PSB (penjaringan siswa berprestasi). Sayang, untuk jumlahnya, Yogi belum tahu pasti. Yang jelas, karena menganggap telah melakukan tindakan tidak jujur, siswa tersebut tetap dicoret. "Bahkan, untuk beberapa tahun ke depan, UB tidak menerima siswa dari sekolah yang melakukan kecurangan itu," tandas pria asal Tulungagung tersebut. (Radar Malang edisi 3 Juni 2009).
Keputusan Pak Rektor UB itu kayaknya perlu dipertimbangken ulang, apalagi jika sampai siswa-siswa yang nggak ikut-ikutan curang - siswa-siswa yang lulus tahun-tahun mendateng - harus terkena getahnya.Harusnya Pak Rektor melihat, apakah dalem kasus kecurangan itu yang paling bersalah itu siswanya, termasuk siswa yang sekarang masih kelas X dan XI ?
Kalo hemat Mas Guru, kesalahan utama adalah pada gagasan unas sebagai satu-satunya ukuran kelulusan siswa. Kalo nggak ada unas, pasti nggak akan ada siswa yang berbuat curang dalam unas. Karena usaha mereka selama 3 tahun hanya dinilai melalui unas yang hanya berlangsung nggak sampai seminggu, ya masuk akallah kalo mereka lantas menghalalken segala cara untuk lulus.
Kesalahan yang kedua ya pada sekolahan yang siswa-siswanya nggak lulus 100 prosen itu. Mana mungkin seluruh siswa melakukan kecurangan secara berjama'ah kalo nggak difasilitasi ? Cuma Mas Guru nggak berani menuduh siapa 'aktor intelektual' yang memfasilitasi tersebut ? Yang jelas, hel yang mustahal kalo pihak sekolah nggak tahu kalo seluruh siswanya melakuken kecurangan secara berjama'ah.
Nah, karena pelaku 'kejahatan ini' banyak unsur yang mungkin terlibat, pantaskah jika hanya siswa doang yang harus menanggung dosa dan sengsaranya ?

No comments: