Sunday, June 2, 2024

Tapera: Mimpi Rumah atau Mimpi Buruk?

Hei Sobat ! Kembali lagi bersama Mas Guru  dengan isu terkini. Kali ini, kita mau bahas program baru pemerintah yang bernama Tapera, singkatan dari Tabungan Perumahan Rakyat.

Singkatnya, Tapera ini adalah program pemerintah untuk membantu rakyatnya memiliki rumah impian. Caranya, dengan menyisihkan sebagian gaji kita (sekitar 3%) untuk ditabung dan nanti bisa digunakan untuk membeli rumah, renovasi, atau bahkan pensiun.

Sekilas, program ini memang terdengar mulia. Siapa sih yang gak pengen punya rumah sendiri? Tapi, tunggu dulu Sobat, jangan buru-buru tergoda. Program ini masih banyak menuai pro dan kontra, lho.

Salah satu kekhawatiran terbesar adalah beban keuangan. Di tengah situasi ekonomi yang masih belum stabil, menyisihkan 3% gaji mungkin terasa berat bagi banyak orang. Apalagi, kita masih ingat kontroversi kenaikan UKT PTN yang dibatalkan karena penolakan masif dari masyarakat. Pertanyaannya, apakah rakyat sudah siap dengan beban baru ini?

Kekhawatiran lainnya adalah kepercayaan terhadap pemerintah. Jujur saja, masih banyak rakyat yang ragu dengan kemampuan dan kejujuran pemerintah dalam mengelola uang rakyat. Ingat kasus korupsi yang terjadi di Asuransi Jiwasraya dan Asabri dan korupsi-korupsi lainnya ? Wajarlah kalau banyak yang skeptis dengan program Tapera.

Lalu, bagaimana dengan manfaatnya? Pemerintah menjanjikan banyak keuntungan, seperti suku bunga yang lebih rendah dan kemudahan dalam mendapatkan KPR. Tapi, janji-janji ini belum tentu terwujud, kan? Lagipula, masih banyak program lain yang menjanjikan hal yang sama tapi belum menunjukkan hasil nyata.

So, sebelum memutuskan untuk ikut Tapera, ada baiknya kita menimbang dengan matang semua aspeknya. Jangan sampai terjebak FOMO (Fear of Missing Out) dan ikut-ikutan tanpa pertimbangan yang matang.

Ingat, rumah memang penting, tapi kesehatan keuangan dan kepercayaan terhadap pemerintah juga gak kalah penting. Jangan sampai terjebak mimpi indah Tapera yang ternyata berakhir menjadi mimpi buruk.

Mas Guru sih, sarannya, tunggu dan lihat dulu perkembangannya. Kalau memang terbukti bermanfaat dan transparan, baru deh ikut.

Bagaimana menurut Sobat? Setuju dengan Mas Guru? Atau kamu punya pendapat lain? Yuk, bagikan di kolom komentar!


Saturday, May 18, 2024

Studi Wisata: Antara Manfaat dan Kontroversi

Kecelakaan maut yang menimpa rombongan studi wisata SMK Lingga Kencana, Depok, pada 11 Mei 2024, telah memicu kontroversi di masyarakat. Hal ini menambah kontroversi yang lebih mendalam terkait keamanan dan keselamatan dalam perjalanan pendidikan di luar sekolah. 

Beberapa poin yang patut menjadi catatan kita, antara lain : 

  • Kecelakaan yang menimpa para pelajar dalam agenda studi wisata mengundang keprihatinan dan pertanyaan tentang standar keamanan yang diterapkan dalam perjalanan tersebut.

  • Para orangtua dan masyarakat umum semakin mempertanyakan manfaat dari studi wisata jika resiko keamanan tidak dapat dijamin.

Peristiwa tragis ini, tak pelak,  kembali membuka perdebatan tentang perlu tidaknya studi wisata dihapus dari agenda sekolah.

Di satu sisi, pendukung studi wisata meyakini bahwa kegiatan ini memiliki banyak manfaat bagi siswa. Studi wisata dapat menjadi sarana untuk:

  • Meningkatkan wawasan dan pengetahuan siswa melalui kunjungan ke tempat-tempat bersejarah, budaya, dan edukatif.

  • Membangun karakter siswa melalui kerja sama tim, disiplin, dan tanggung jawab dalam perjalanan.

  • Meningkatkan rasa cinta tanah air dan mengenal kekayaan alam dan budaya Indonesia.

  • Membuat kenangan indah dan mempererat persahabatan antar siswa.

Pihak yang mendukung studi wisata juga menekankan bahwa dengan perencanaan dan pelaksanaan yang matang, risiko kecelakaan dapat diminimalisir.

Di sisi lain, penentang studi wisata berargumen bahwa kegiatan ini memiliki beberapa risiko, seperti:

  • Kecelakaan lalu lintas: Seperti yang terjadi pada kasus SMK Lingga Kencana, kecelakaan di jalan raya selalu memiliki potensi bahaya.

  • Keuangan: Biaya studi wisata yang mahal dapat memberatkan orang tua siswa, terutama dari keluarga kurang mampu.

  • Keamanan: Siswa rentan terhadap tindak kriminal, penipuan, dan pelecehan selama perjalanan.

  • Efektivitas belajar: Konten pembelajaran dalam studi wisata tidak selalu terstruktur dan terukur efektivitasnya.

Pihak yang menentang studi wisata juga mengusulkan alternatif kegiatan belajar yang lebih aman dan bermanfaat, seperti:

  • Kegiatan belajar di dalam kelas dengan menghadirkan narasumber ahli atau mengadakan simulasi.

  • Kunjungan ke tempat-tempat terdekat yang mudah dijangkau dan terjamin keamanannya.

  • Kegiatan pembelajaran daring yang interaktif dan berbasis teknologi.

Kontroversi ini menunjukkan bahwa studi wisata merupakan isu yang kompleks dengan berbagai pertimbangan. Keputusan untuk mengadakan atau tidak studi wisata harus diambil dengan cermat, dengan mempertimbangkan manfaat, risiko, dan kondisi yang ada.

Berikut beberapa poin penting yang perlu dipertimbangkan:

  • Tujuan studi wisata: Pastikan studi wisata memiliki tujuan yang jelas dan terukur manfaatnya bagi siswa.

  • Perencanaan matang: Lakukan perencanaan yang matang dengan melibatkan semua pihak terkait, seperti sekolah, orang tua, dan agen perjalanan.

  • Pemilihan tempat wisata: Pilihlah tempat wisata yang aman, terjamin kualitasnya, dan relevan dengan tujuan pembelajaran.

  • Keamanan: Pastikan keselamatan siswa menjadi prioritas utama dengan menerapkan protokol keamanan yang ketat.

  • Sosialisasi dan edukasi: Lakukan sosialisasi dan edukasi kepada siswa dan orang tua tentang pentingnya keselamatan selama perjalanan.

Pada akhirnya, keputusan untuk mengadakan atau tidak studi wisata adalah kewenangan sekolah. Sekolah harus mengambil keputusan yang terbaik berdasarkan pertimbangan matang dan dengan memperhatikan kepentingan semua pihak.

Penting untuk dicatat bahwa tidak ada jawaban yang mutlak untuk pertanyaan tentang studi wisata. Setiap sekolah dan orang tua harus mempertimbangkan sendiri manfaat dan resikonya sebelum mengambil keputusan.

Bagaimana pendapat Anda ?


Tuesday, July 5, 2011

Menjerat Penjual iPad

Penahanan dua penjual perangkat iPad oleh polisi amat berlebihan. Mereka bukanlah penyelundup barang-barang elektronik skala besar. Tak sekadar menuruti undang-undang secara kaku, mestinya penegak hukum bersikap lebih bijak dalam menjerat orang yang diduga pelaku kejahatan.

Dian dan Randy, penjual komputer tablet itu, ditangkap pada November tahun lalu. Sebelumnya, mereka menawarkan barang elektronik ini lewat situs Internet www.kaskus.us. Polisi yang melihat iklan itu kemudian menyamar sebagai pembeli dan meminta transaksi dilakukan di sebuah mal. Saat transaksi itulah keduanya ditangkap dengan tuduhan menjual barang tanpa manual berbahasa Indonesia. Tuduhan lain, iPad yang mereka jual belum legal sebagai alat komunikasi resmi.Kelengkapan manual bahasa Indonesia memang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 8 ayat 1 J undang-undang ini menyebutkan bahwa setiap barang yang dijual di Indonesia wajib dilengkapi manual berbahasa Indonesia. Adapun soal legalitas, karena iPad yang dijual belum memiliki stiker pengesahan dari Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, maka barang itu tergolong ilegal. Untuk pelanggaran tersebut, ancaman sanksi dari tiap undang-undang adalah 5 tahun dan 1 tahun penjara.

Tak ada yang salah dengan semangat kedua undang-undang itu. Dengan adanya kewajiban pencantuman manual berbahasa Indonesia, konsumen diuntungkan. Konsumen lebih mudah memahami barang yang mereka beli sehingga spesifikasi barang pun bisa dicek apakah sesuai dengan yang dijanjikan produsen. Kewajiban memasang stiker juga untuk memastikan bahwa produk yang beredar di sini dengan mudah dikontrol.

Persoalannya, semangat kedua undang-undang itu sebetulnya ditujukan bagi pengusaha kelas importir atau pabrik pembuat barang-barang elektronik. Merekalah target sesungguhnya penerapan kedua undang-undang itu. Dengan adanya kedua undang-undang tersebut, para importir atau pabrik barang elektronik di Indonesia tak mudah memasukkan barang yang tak sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan. Penerapan kedua undang-undang itu juga diharapkan mampu menekan angka penyelundupan.

Polisi beralasan, penangkapan mereka justru sebagai pintu masuk untuk mengurai mata rantai penyelundupan. Alasan ini aneh karena, jika memang itu tujuannya, yang seharusnya dikejar polisi adalah para pedagang di mal pusat barang elektronik yang bertebaran di Jakarta. Tak sulit menemukan mereka. Tidak juga sulit menemukan bahwa di pusat-pusat perdagangan itu sangat banyak barang elektronik yang dijual tanpa manual berbahasa Indonesia, bahkan tanpa stiker pengesahan.

Menangkap orang yang menjual satu-dua barang tentengan dari luar negeri tak berdampak apa-apa jika tujuannya mengurangi penyelundupan. Lebih baik polisi melakukan operasi penindakan ke pusat-pusat penjualan barang elektronik atau ke para distributor. Dengan cara ini, efek jera akan jauh lebih besar.

Penahanan dua penjual perangkat iPad oleh polisi amat berlebihan. Mereka bukanlah penyelundup barang-barang elektronik skala besar. Tak sekadar menuruti undang-undang secara kaku, mestinya penegak hukum bersikap lebih bijak dalam menjerat orang yang diduga pelaku kejahatan.

Dian dan Randy, penjual komputer tablet itu, ditangkap pada November tahun lalu. Sebelumnya, mereka menawarkan barang elektronik ini lewat situs Internet www.kaskus.us. Polisi yang melihat iklan itu kemudian menyamar sebagai pembeli dan meminta transaksi dilakukan di sebuah mal. Saat transaksi itulah keduanya ditangkap dengan tuduhan menjual barang tanpa manual berbahasa Indonesia. Tuduhan lain, iPad yang mereka jual belum legal sebagai alat komunikasi resmi.

Kelengkapan manual bahasa Indonesia memang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 8 ayat 1 J undang-undang ini menyebutkan bahwa setiap barang yang dijual di Indonesia wajib dilengkapi manual berbahasa Indonesia. Adapun soal legalitas, karena iPad yang dijual belum memiliki stiker pengesahan dari Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, maka barang itu tergolong ilegal. Untuk pelanggaran tersebut, ancaman sanksi dari tiap undang-undang adalah 5 tahun dan 1 tahun penjara.

Tak ada yang salah dengan semangat kedua undang-undang itu. Dengan adanya kewajiban pencantuman manual berbahasa Indonesia, konsumen diuntungkan. Konsumen lebih mudah memahami barang yang mereka beli sehingga spesifikasi barang pun bisa dicek apakah sesuai dengan yang dijanjikan produsen. Kewajiban memasang stiker juga untuk memastikan bahwa produk yang beredar di sini dengan mudah dikontrol.

Persoalannya, semangat kedua undang-undang itu sebetulnya ditujukan bagi pengusaha kelas importir atau pabrik pembuat barang-barang elektronik. Merekalah target sesungguhnya penerapan kedua undang-undang itu. Dengan adanya kedua undang-undang tersebut, para importir atau pabrik barang elektronik di Indonesia tak mudah memasukkan barang yang tak sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan. Penerapan kedua undang-undang itu juga diharapkan mampu menekan angka penyelundupan.

Polisi beralasan, penangkapan mereka justru sebagai pintu masuk untuk mengurai mata rantai penyelundupan. Alasan ini aneh karena, jika memang itu tujuannya, yang seharusnya dikejar polisi adalah para pedagang di mal pusat barang elektronik yang bertebaran di Jakarta. Tak sulit menemukan mereka. Tidak juga sulit menemukan bahwa di pusat-pusat perdagangan itu sangat banyak barang elektronik yang dijual tanpa manual berbahasa Indonesia, bahkan tanpa stiker pengesahan.

Menangkap orang yang menjual satu-dua barang tentengan dari luar negeri tak berdampak apa-apa jika tujuannya mengurangi penyelundupan. Lebih baik polisi melakukan operasi penindakan ke pusat-pusat penjualan barang elektronik atau ke para distributor. Dengan cara ini, efek jera akan jauh lebih besar.

Penahanan dua penjual perangkat iPad oleh polisi amat berlebihan. Mereka bukanlah penyelundup barang-barang elektronik skala besar. Tak sekadar menuruti undang-undang secara kaku, mestinya penegak hukum bersikap lebih bijak dalam menjerat orang yang diduga pelaku kejahatan.

Dian dan Randy, penjual komputer tablet itu, ditangkap pada November tahun lalu. Sebelumnya, mereka menawarkan barang elektronik ini lewat situs Internet www.kaskus.us. Polisi yang melihat iklan itu kemudian menyamar sebagai pembeli dan meminta transaksi dilakukan di sebuah mal. Saat transaksi itulah keduanya ditangkap dengan tuduhan menjual barang tanpa manual berbahasa Indonesia. Tuduhan lain, iPad yang mereka jual belum legal sebagai alat komunikasi resmi.

Kelengkapan manual bahasa Indonesia memang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 8 ayat 1 J undang-undang ini menyebutkan bahwa setiap barang yang dijual di Indonesia wajib dilengkapi manual berbahasa Indonesia. Adapun soal legalitas, karena iPad yang dijual belum memiliki stiker pengesahan dari Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, maka barang itu tergolong ilegal. Untuk pelanggaran tersebut, ancaman sanksi dari tiap undang-undang adalah 5 tahun dan 1 tahun penjara.

Tak ada yang salah dengan semangat kedua undang-undang itu. Dengan adanya kewajiban pencantuman manual berbahasa Indonesia, konsumen diuntungkan. Konsumen lebih mudah memahami barang yang mereka beli sehingga spesifikasi barang pun bisa dicek apakah sesuai dengan yang dijanjikan produsen. Kewajiban memasang stiker juga untuk memastikan bahwa produk yang beredar di sini dengan mudah dikontrol.

Persoalannya, semangat kedua undang-undang itu sebetulnya ditujukan bagi pengusaha kelas importir atau pabrik pembuat barang-barang elektronik. Merekalah target sesungguhnya penerapan kedua undang-undang itu. Dengan adanya kedua undang-undang tersebut, para importir atau pabrik barang elektronik di Indonesia tak mudah memasukkan barang yang tak sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan. Penerapan kedua undang-undang itu juga diharapkan mampu menekan angka penyelundupan.

Polisi beralasan, penangkapan mereka justru sebagai pintu masuk untuk mengurai mata rantai penyelundupan. Alasan ini aneh karena, jika memang itu tujuannya, yang seharusnya dikejar polisi adalah para pedagang di mal pusat barang elektronik yang bertebaran di Jakarta. Tak sulit menemukan mereka. Tidak juga sulit menemukan bahwa di pusat-pusat perdagangan itu sangat banyak barang elektronik yang dijual tanpa manual berbahasa Indonesia, bahkan tanpa stiker pengesahan.

Menangkap orang yang menjual satu-dua barang tentengan dari luar negeri tak berdampak apa-apa jika tujuannya mengurangi penyelundupan. Lebih baik polisi melakukan operasi penindakan ke pusat-pusat penjualan barang elektronik atau ke para distributor. Dengan cara ini, efek jera akan jauh lebih besar.

Sumber : Koran Tempo Online edisi 5 Juli 2011

Komentar Mas Guru : Baru belajar berwira usaha kok ditangkep. Mbok ya dibimbing yang bener bos....

Sunday, November 28, 2010

Bos PT Bintang Ilmu Masuk Bidikan Kejari Masohi

Ambon (LiraNews) – Direktur Utama PT Bintang Ilmu, Basa Alim Tualeka, kini masuk dalam daftar bidikan Kejaksaan Negeri Masohi. Tualeka diduga terlibat dalam dugaan korupsi pengadaan buku dan alat peraga pada proyek dana alokasi khusus (DAK) bidang pendidikan pada Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Maluku Tengah (Malteng) tahun 2007 lalu.
Hal tersebut terungkap setelah Kejaksaan Negeri Masohi melakukan gelar perkara atau ekspos kasus, dua pekan lalu di kantor Kejaksaan Tinggi Maluku. Gelar perkara dihadiri Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku Soedibyo, Wakajati Maluku Babul Khoir Harahap, para Asisten di Kejati, Kepala Kejaksaan Negeri Masohi Rustam, dan tim jaksa penyelidik DAK pendidikan Malteng.

Hasil gelar perkara pada proyek senilai Rp 18 miliar itu, diputuskan penanganan kasus tersebut ditingkatkan dari penyelidikan ke penyidikan. “Iya kasusnya sekarang ditingkatkan dari penyelidikan ke penyidikan,” kata Kepala Kejaksaan Negeri Masohi, Rustam.

Alasannya, kata Kajari, tim jaksa menemukan indikasi penyimpangan pada realisasi proyek yang diperuntukan bagi sekolah dasar di Kabupaten Malteng. “Ditemukan bukti permulaan yang cukup, sehingga penanganan kasus tersebut di tingkatkan ke penyidikan,” tegasnya.

Indikasi penyimpangan itu beber Kajari antara lain penyimpangan biaya operasional DAK ke lokasi kegiatan. “Ada kegiatan sosialisasi dan pendataan yang tidak dilakukan tapi dana dicairkan,” ungkap Rustam. Jaksa juga menemukan indikasi penyimpangan pada pengadaan buku pelajaran dan alat peraga yang dialokasikan sebesar Rp 7 M.

Rustam menyatakan pengadaan buku ditangani PT Bintang Ilmu milik Basa Alim Tualeka. “Pengadaan buku dan alat peraga ditangani oleh PT Bintang Ilmu. Kita belum tahu apa ada perusahaan lain lagi yang menangani pengadaan ini,” katanya.

Pada pengadaan ini tim jaksa menemukan penyimpangan, yakni pengadaan buku dan alat peraga hanya sebesar 60 persen. “Volumenya (pengadaan) cuma 60 persen tidak sesuai kontrak, harusnya 100 persen. Kita masih dalami lagi, apakah buku-buku itu sesuai dengan spec atau tidak. Nilai bukunya sesuai atau tidak,” jelas Rustam.

Menyoal indikasi keterlibatan mantan Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Malteng Arfan Watiheluw dan Najib Pelupessy (kini Kadispora) yang saat proyek ini bergulir menjabat sebagai Kasubdin Perencanaan Sarana dan Prasarana Dispora Malteng, Kajari enggan berkomentar banyak. “Itu akan kita dalami di penyidikan nanti. Dalam penyidikan ini kita akan mencari tersangka,” jelasnya.

Terbentur dengan masa liburan akhir tahun, surat penyidikan diakui belum ditandatangani. “Berkasnya sudah di bagian pidsus (pidana khusus), Januari 2010 surat penyidikannya diterbitkan,” jelasnya.

Di tingkat penyelidikan, tim jaksa telah meminta keterangan sejumlah pihak, di antaranya Kepsek penerima bantuan dan pihak Dispora Maluku. “Pemeriksaan ditingkat penyidikan akan dilakukan setelah surat penyidikan diterbitkan,” jelas Kajari.

Apakah PT Bintang Ilmu terlibat dalam pengadaan buku dan alat peraga tersebut? Basa Alim Tualeka yang dihubungi via ponselnya menyatakan, PT Bintang Ilmu hanya sebagai penyedia barang dan telah dikirim sesuai dengan Juknis DAK 2007 di Malteng. “Kami tidak langsung dengan pihak sekolah (dalam penyaluran buku dan alat peraga),” jawabnya via pesan pendek SMS.

Perusahaannya tidak melakukan kontrak kerja dengan Diknas Malteng. “Yang ada hanya perusahaan-perusahaan di daerah yang dapat dukungan dari PT Bintang Ilmu yang melakukan kontrak dengan sekolah penerima,” jelasnya. Ketika ditanya nama-nama perusahaan di daerah yang menangani pengadaan itu, Tualeka tidak menjawabnya. “Saya lupa nama-nama perusahaan itu,” kilahnya.

Apakah pengadaan itu disubkan ke perusahaan lain di daerah? Tualeka kembali menjawab, perusahaannya hanya penyedia barang yang telah sesuai dengan petunjuk teknis (juknis) yang ditetapkan Depdiknas. “Yang saya dengar (pengadaan buku) tidak ada penyimpangan di Malteng, yang bermasalah itu fisik,” kata Tualeka.

Abua Tuasikal yang disebut-sebut menangani pengadaan buku dan alat peraga ini, menepis tudingan itu. “Tidak, tidak, tidak betul. Untuk apa lakukan hal-hal begitu, Allah melarang itu,” bantahnya via ponsel.

DAK pendidikan Malteng bersumber dari APBN sebesar Rp 16 M dan APBD Rp 1,8 M (dana pendamping). Dana disalurkan kepada 74 sekolah dasar (SD) di Malteng. Tiap SD memperoleh Rp 250 juta, diperuntukan bagi pembangunan fisik sebesar Rp 150 juta dan pengadaan buku pelajaran, alat peraga dan komputer Rp 100 juta.

Secara terpisah, Ketua LSM Sekoci Malteng, Syahril Silawane mengingatkan Kejari Masohi serius mengusut kasus ini. Ia berharap penyidikan kasus ini tidak dihentikan ditengah jalan karena alasan tidak cukup bukti. “Kami pesimis kasus ini dapat menjerat kepala dinas dan mantan kepala dinas sebagai tersangka. Kami prediksi penetapan tersangka hanya pegawai bawahan, bukan pejabat pengambil kebijakan, yang jelas-jelas membuat kebijakan yang keliru,” ujarnya sinis.

Realiasasi DAK pendidikan tahun 2007 di Malteng sebutnya, tidak sesuai petunjuk pelaksana. Sesuai aturan Mendiknas nomor 10 tahun 2008, pembangunan fisik tidak boleh melibatkan pihak ketiga. Pengerjaanya dilakukan oleh pihak sekolah, komite sekolah dan masyarakat atau swakelola. Ini juga ditegaskan dalam Kepres 80 tahun 2003, tentang pengadaan barang dan jasa. Tetapi yang terjadi bukan swakelola, melainkan melibatkan kontraktor. Akibatnya proyek yang dikerjakan ditemukan ada yang amburadul.

Silawane mengatakan, realisasi DAK pendidikan dilakukan berdasarkan kebijakan sendiri oleh Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Malteng. Selain melibatkan pihak ketiga, Silawane menyebutkan pengerjaan DAK pendidikan (fisik) ternyata di monopoli oleh kontraktor yang selama ini dikenal dekat dengan pejabat teras di Pemkab Malteng. Sebut saja, PT Kobi Indah, milik Hainudin alias Ode. Tahun 2007, perusahaan itu mengerjakan 28 paket (pembangunan ruang belajar) di sejumlah SD di Kecamatan Seram Utara dan Seram Utara Barat.

Pembagian pekerjaan proyek fisik dan pengadaan buku, kata dia, ditetapkan saat kegiatan sosialisasi DAK pendidikan yang digelar Dispora Malteng. Silawane membeberkan, dana dikirim ke nomor rekening masing-masing kepala sekolah setelah dana dicairkan, pihak Dispora menunjuk kontraktor mengerjakan proyek fisik di sejumlah SD. “Jadi ajang sosialisasi itu untuk menunjuk kontraktor mengerjakan proyek fisik. Kepsek yang tidak menyetujui akan dipindahkan,” ungkapnya.

Sejumlah Kepsek telah menunjuk kontraktor mengerjakan proyek fisik tapi ditekan dan digantikan oleh kontraktor yang selama ini dekat dengan pejabat Dispora Malteng.

Menurutnya, alokasi DAK pendidikan ini menjadi ajang korupsi oleh pejabat-pejabat bermental korup. Sebab, ada sekolah yang baru dua tahun dibangun kembali dikerjakan fisiknya. “Ini jadi ajang korupsi, kenapa? Sebab ada sekolah yang ruang belajarnya masih bagus dikerjakan kembali. Dengan begitu dana pekerjaan fisik paling besar Cuma Rp 15 juta, padahal dianggarkan Rp 150 juta,” katanya.

Menurutnya, dugaan korupsi DAK pendidikan di Malteng, sebenarnya tidak hanya terjadi di tahun 2007. Indikasi korupsi juga terjadi pada realiasasi DAK pendidikan tahun 2008. “Saya heran Kejari Masohi hanya mengusut DAK pendidikan tahun 2007, padahal realisasi tahun 2008 juga bermasalah,” tukas Silawane.

Sementara itu, anggota Fraksi Demokrat DPRD Maluku, Liliani Aitonam mendesak, Kejati Maluku mempresure Kejari Masohi, untuk serius menangani kasus tersebut. ‘’Kita himbau Kejati Maluku mempresure bawahanya menuntaskan kasus ini. Kasus ini harus diusut tuntas hingga mendapat putusan hukum tetap. Kita terus mengawal kasus ini,’’ tandas wakil rakyat Dapil Malteng itu.

Ia menduga, penyimpangan tak hanya terjadi di Dispora Malteng, namun alokasi anggaran untuk sektor kesehatan di Dinkes Malteng diduga di korupsi.’’Banyak indikasi yang tidak beres. Sektor kesehatan misalnya, diduga keras anggaranya juga dikorupsi,’’ beber Aitonam yang juga mantan dokter gigi.

Dia berharap, Kejari Masohi proaktif untuk menangani dugaan tersebut. Sebab sektor pendidikan dan kesehatan sangat penting. ‘’Bagaimana mau sehat dan pintar kalau dananya saja dikorupsi. Kalau terindikasi, namanya ini pembunuhan karakte orang Maluku khususnya di Malteng. Sekrot pendidikan dan kesehatan sangat penting. Kita tahu bersama bahwa semua komponen bangsa sementara fokus pada dunia pendidikan dan kesehatan,’’ terangnya. (is)


Komentar Mas Guru : Meski anggaran pendidikan dinaekkan menjadi 20%, pasti gak ada artinya jika pejabat-pejabat diknas macam gini. Tapi, kayaknya banyak juga ya yang kayak gini ?

Wednesday, July 21, 2010

Wajah Bopeng Dunia Pendidikan Kita

Tahun Ajaran Baru, Dunia Pendidikan Kembali Tercoreng

SLEMAN (Berita SuaraMedia) - Masa orientasi Siswa (MOS) diperlukan untuk membentuk karakter siswa sekaligus kesempatan mengenali lingkungan sekolah, teman-teman, guru dan sarana menjalin keakraban.

"Media pelaksanaan Masa Orientasi Siswa bisa bervariasi tetapi tidak dengan kekerasan," kata Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga, Kabupaten Sleman Suyamsih, Kamis
Ia mengatakan, pada prinsipnya pengenalan sekolah dan lingkungan pada MOS, media yang dipakai bisa bervariasi tapi tetap tidak dengan kekerasan.

"Ini bisa saja dengan membawa sesuatu yang bisa dijangkau seperti koran, bawang dan lainnya. Ini adalah untuk pembelajaran dan keakraban siswa bisa dijalin dengan metode dinamika kelompok dan selama itu bisa dicari anak, tidak mengada-ada," katanya.

Dia menyambung, "Pembinaan karakter ini sifatnya mengawali saja setelah itu diintegrasikan dengan mata pelajaran karena karakter itu bukan ilmu tapi masalah pembiasaan."

Sementara itu, dunia pendidikan di Kota Bandung kembali tercoreng. Sejumlah sekolah dari mulai SD hingga SMA mengkomersilkan perpindahan siswa dari sekolah lain. Siswa tersebut harus membayar sejumlah uang, tergantung cluster.

"Ada banyak jenis pelanggaran yang kami terima berdasarkan pengaduan masyarakat. Di antaranya jual beli bangku mutasi dari sekolah tak favorit ke favorit," kata Koordinator Koalisi Pendidikan Kota Bandung (KPKB) Iwan Hermawan, Kamis (15/7/2010).

Iwan mengatakan, praktik 'jual beli bangku' tersebut jelas bertentangan dengan Perda 15/2008 Kota Bandung tentang Penyelenggaraan Pendidikan Sekolah yang melarang memungut biaya apapun kepada peserta didik.

"Maka dari itu, hari ini kami akan melaporkan hasil temuan dan aduan kepada Wali Kota, Disdik, dan DPRD," kata Iwan.

Iwan menambahkan, Koalisi Pendidikan Kota Bandung membuka pos pengaduan dan investigasi. Sampai saat ini, lanjutnya, sudah ada 50 laporan pengaduan masyarakat yang diterima terkait pungutan biaya di sekolah.

"Kami hanya pelapor, hampir 90 persen sekolah melakukan pelanggaran itu. Ada bukti kwitansi bebrapa sekolah SMP, SMA yang daftar sekolah," kata Iwan.

Lebih jauh Iwan meminta agar pemerintah segera membentuk tim investigasi terkait pelanggaran tersebut. "Dibentuk tim independen yang melibatkan masyarakat dan DPRD," kata Iwan.

Begitu pula dengan sebuah sekolah di Bogor. Hari-hari pertama belajar di sebuah sekolah milik Yayasan Fajar Hidayah, Kompleks Kota Wisata Cibubur, Bogor, Jawa Barat, terganggu aksi sekelompok pemuda tak dikenal.

Kondisi ini disesalkan para orangtua siswa yang khawatir aktivitas belajar anak-anak mereka terganggu. Kekhawatiran orangtua langsung ditanggapi dengan diterjunkannya beberapa polisi ke lokasi. Kehadiran polisi di lokasi sedikit menenangkan hati para orangtua dan siswa.

Belakangan diketahui aksi para pemuda tersebut terkait masalah hutang piutang dengan pengelola Yayasan Fajar Hidayah. Menurut para pemuda, mereka ingin menemui pengelola yayasan yang dianggap ingkar janji. Mereka mengklaim yayasan berhutang sekitar Rp 2 miliar. (fn/ant/ok/klik video dari Kantor Berita Liputan 6) www.suaramedia.com


Sumber : Suara Media, edisi 15 Juli 2010.

Komentar Mas Guru : Sebenernya, penyimpangan-penyimpangan semacam itu telah menjadi rahasia umum. Jadi, nggak perlu ada yang dirahasiaken. Lebih jadi lagi, pelaku-pelaku dunia pendidikan kita praktek-praktek tercela semacam itu juga biasa-biasa saja. Artinya, nggak pake kikuk apalagi malu. Kemudian, pejabat-pejabat atau aparat penegak hukum juga melihat hal itu sebagai praktek biasa. Masyarakat pun, menganggap praktek-praktek 'pemerasan' semacem itu sebagai kelumrahan. Alhasil, penyimpangan itu jadi langgeng karena semuanya menganggap sebagai kewajaran.