Penahanan dua penjual perangkat iPad oleh polisi amat berlebihan. Mereka bukanlah penyelundup barang-barang elektronik skala besar. Tak sekadar menuruti undang-undang secara kaku, mestinya penegak hukum bersikap lebih bijak dalam menjerat orang yang diduga pelaku kejahatan.
Dian dan Randy, penjual komputer tablet itu, ditangkap pada November tahun lalu. Sebelumnya, mereka menawarkan barang elektronik ini lewat situs Internet www.kaskus.us. Polisi yang melihat iklan itu kemudian menyamar sebagai pembeli dan meminta transaksi dilakukan di sebuah mal. Saat transaksi itulah keduanya ditangkap dengan tuduhan menjual barang tanpa manual berbahasa Indonesia. Tuduhan lain, iPad yang mereka jual belum legal sebagai alat komunikasi resmi.Kelengkapan manual bahasa Indonesia memang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 8 ayat 1 J undang-undang ini menyebutkan bahwa setiap barang yang dijual di Indonesia wajib dilengkapi manual berbahasa Indonesia. Adapun soal legalitas, karena iPad yang dijual belum memiliki stiker pengesahan dari Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, maka barang itu tergolong ilegal. Untuk pelanggaran tersebut, ancaman sanksi dari tiap undang-undang adalah 5 tahun dan 1 tahun penjara.
Tak ada yang salah dengan semangat kedua undang-undang itu. Dengan adanya kewajiban pencantuman manual berbahasa Indonesia, konsumen diuntungkan. Konsumen lebih mudah memahami barang yang mereka beli sehingga spesifikasi barang pun bisa dicek apakah sesuai dengan yang dijanjikan produsen. Kewajiban memasang stiker juga untuk memastikan bahwa produk yang beredar di sini dengan mudah dikontrol.
Persoalannya, semangat kedua undang-undang itu sebetulnya ditujukan bagi pengusaha kelas importir atau pabrik pembuat barang-barang elektronik. Merekalah target sesungguhnya penerapan kedua undang-undang itu. Dengan adanya kedua undang-undang tersebut, para importir atau pabrik barang elektronik di Indonesia tak mudah memasukkan barang yang tak sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan. Penerapan kedua undang-undang itu juga diharapkan mampu menekan angka penyelundupan.
Polisi beralasan, penangkapan mereka justru sebagai pintu masuk untuk mengurai mata rantai penyelundupan. Alasan ini aneh karena, jika memang itu tujuannya, yang seharusnya dikejar polisi adalah para pedagang di mal pusat barang elektronik yang bertebaran di Jakarta. Tak sulit menemukan mereka. Tidak juga sulit menemukan bahwa di pusat-pusat perdagangan itu sangat banyak barang elektronik yang dijual tanpa manual berbahasa Indonesia, bahkan tanpa stiker pengesahan.
Menangkap orang yang menjual satu-dua barang tentengan dari luar negeri tak berdampak apa-apa jika tujuannya mengurangi penyelundupan. Lebih baik polisi melakukan operasi penindakan ke pusat-pusat penjualan barang elektronik atau ke para distributor. Dengan cara ini, efek jera akan jauh lebih besar.
Penahanan dua penjual perangkat iPad oleh polisi amat berlebihan. Mereka bukanlah penyelundup barang-barang elektronik skala besar. Tak sekadar menuruti undang-undang secara kaku, mestinya penegak hukum bersikap lebih bijak dalam menjerat orang yang diduga pelaku kejahatan.
Dian dan Randy, penjual komputer tablet itu, ditangkap pada November tahun lalu. Sebelumnya, mereka menawarkan barang elektronik ini lewat situs Internet www.kaskus.us. Polisi yang melihat iklan itu kemudian menyamar sebagai pembeli dan meminta transaksi dilakukan di sebuah mal. Saat transaksi itulah keduanya ditangkap dengan tuduhan menjual barang tanpa manual berbahasa Indonesia. Tuduhan lain, iPad yang mereka jual belum legal sebagai alat komunikasi resmi.
Kelengkapan manual bahasa Indonesia memang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 8 ayat 1 J undang-undang ini menyebutkan bahwa setiap barang yang dijual di Indonesia wajib dilengkapi manual berbahasa Indonesia. Adapun soal legalitas, karena iPad yang dijual belum memiliki stiker pengesahan dari Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, maka barang itu tergolong ilegal. Untuk pelanggaran tersebut, ancaman sanksi dari tiap undang-undang adalah 5 tahun dan 1 tahun penjara.
Tak ada yang salah dengan semangat kedua undang-undang itu. Dengan adanya kewajiban pencantuman manual berbahasa Indonesia, konsumen diuntungkan. Konsumen lebih mudah memahami barang yang mereka beli sehingga spesifikasi barang pun bisa dicek apakah sesuai dengan yang dijanjikan produsen. Kewajiban memasang stiker juga untuk memastikan bahwa produk yang beredar di sini dengan mudah dikontrol.
Persoalannya, semangat kedua undang-undang itu sebetulnya ditujukan bagi pengusaha kelas importir atau pabrik pembuat barang-barang elektronik. Merekalah target sesungguhnya penerapan kedua undang-undang itu. Dengan adanya kedua undang-undang tersebut, para importir atau pabrik barang elektronik di Indonesia tak mudah memasukkan barang yang tak sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan. Penerapan kedua undang-undang itu juga diharapkan mampu menekan angka penyelundupan.
Polisi beralasan, penangkapan mereka justru sebagai pintu masuk untuk mengurai mata rantai penyelundupan. Alasan ini aneh karena, jika memang itu tujuannya, yang seharusnya dikejar polisi adalah para pedagang di mal pusat barang elektronik yang bertebaran di Jakarta. Tak sulit menemukan mereka. Tidak juga sulit menemukan bahwa di pusat-pusat perdagangan itu sangat banyak barang elektronik yang dijual tanpa manual berbahasa Indonesia, bahkan tanpa stiker pengesahan.
Menangkap orang yang menjual satu-dua barang tentengan dari luar negeri tak berdampak apa-apa jika tujuannya mengurangi penyelundupan. Lebih baik polisi melakukan operasi penindakan ke pusat-pusat penjualan barang elektronik atau ke para distributor. Dengan cara ini, efek jera akan jauh lebih besar.
Penahanan dua penjual perangkat iPad oleh polisi amat berlebihan. Mereka bukanlah penyelundup barang-barang elektronik skala besar. Tak sekadar menuruti undang-undang secara kaku, mestinya penegak hukum bersikap lebih bijak dalam menjerat orang yang diduga pelaku kejahatan.
Dian dan Randy, penjual komputer tablet itu, ditangkap pada November tahun lalu. Sebelumnya, mereka menawarkan barang elektronik ini lewat situs Internet www.kaskus.us. Polisi yang melihat iklan itu kemudian menyamar sebagai pembeli dan meminta transaksi dilakukan di sebuah mal. Saat transaksi itulah keduanya ditangkap dengan tuduhan menjual barang tanpa manual berbahasa Indonesia. Tuduhan lain, iPad yang mereka jual belum legal sebagai alat komunikasi resmi.
Kelengkapan manual bahasa Indonesia memang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 8 ayat 1 J undang-undang ini menyebutkan bahwa setiap barang yang dijual di Indonesia wajib dilengkapi manual berbahasa Indonesia. Adapun soal legalitas, karena iPad yang dijual belum memiliki stiker pengesahan dari Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, maka barang itu tergolong ilegal. Untuk pelanggaran tersebut, ancaman sanksi dari tiap undang-undang adalah 5 tahun dan 1 tahun penjara.
Tak ada yang salah dengan semangat kedua undang-undang itu. Dengan adanya kewajiban pencantuman manual berbahasa Indonesia, konsumen diuntungkan. Konsumen lebih mudah memahami barang yang mereka beli sehingga spesifikasi barang pun bisa dicek apakah sesuai dengan yang dijanjikan produsen. Kewajiban memasang stiker juga untuk memastikan bahwa produk yang beredar di sini dengan mudah dikontrol.
Persoalannya, semangat kedua undang-undang itu sebetulnya ditujukan bagi pengusaha kelas importir atau pabrik pembuat barang-barang elektronik. Merekalah target sesungguhnya penerapan kedua undang-undang itu. Dengan adanya kedua undang-undang tersebut, para importir atau pabrik barang elektronik di Indonesia tak mudah memasukkan barang yang tak sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan. Penerapan kedua undang-undang itu juga diharapkan mampu menekan angka penyelundupan.
Polisi beralasan, penangkapan mereka justru sebagai pintu masuk untuk mengurai mata rantai penyelundupan. Alasan ini aneh karena, jika memang itu tujuannya, yang seharusnya dikejar polisi adalah para pedagang di mal pusat barang elektronik yang bertebaran di Jakarta. Tak sulit menemukan mereka. Tidak juga sulit menemukan bahwa di pusat-pusat perdagangan itu sangat banyak barang elektronik yang dijual tanpa manual berbahasa Indonesia, bahkan tanpa stiker pengesahan.
Menangkap orang yang menjual satu-dua barang tentengan dari luar negeri tak berdampak apa-apa jika tujuannya mengurangi penyelundupan. Lebih baik polisi melakukan operasi penindakan ke pusat-pusat penjualan barang elektronik atau ke para distributor. Dengan cara ini, efek jera akan jauh lebih besar.
Sumber : Koran Tempo Online edisi 5 Juli 2011
Komentar Mas Guru : Baru belajar berwira usaha kok ditangkep. Mbok ya dibimbing yang bener bos....