Monday, May 17, 2010

Status Jaksa Cirus Masih Saksi

TEMPO Interaktif, Jakarta - Hingga hari ini, mantan ketua tim jaksa peneliti kasus Gayus H Tambunan, Cirus Sinaga, masih berstatus saksi dalam kasus dugaan makelar kasus penanganan perkara Gayus Tambunan. "Penyidik belum memiliki alat bukti yang kuat untuk menetapkan Cirus sebagai tersangka," kata Wakil Juru Bicara Markas Besar Kepolisian Brigadir Jenderal Zainuri Lubis, saat dihubungi, Minggu (16/5).Sebelumnya, dalam sidang kode etik Komisaris Polisi Arafat Enanie mengaku sempat bertemu Cirus, jaksa Fadil Regan, dan pengacara Gayus, Haposan Hutagalung di Hotel Crystal, Cilandak. Dalam pertemuan itu, Cirus meminta agar Gayus hanya dikenakan pasal pengelapan dana wajib pajak. Sedangkan pasal korupsi dan pencucian uang diminta untuk dihilangkan. Alasan Cirus, dirinya bukan jaksa yang menangani kasus korupsi.

Akibat penghilangan pasal korupsi dan pencucian uang, Pengadilan Negeri Tangerang memvonis bebas Gayus. Hukuman tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum, yakni satu tahun penjara dan satu tahun masa percobaan.

Menurut Zainuri, kesaksian Arafat itu hanya satu alat bukti permulaan. Untuk menetapkan status tersangka, penyidik harus mempunyai dua bukti permulaan yang cukup, yakni barang bukti. “Dan barang bukti itu, misalnya uang gratifikasi untuk mengubah pasal, belum ditemukan,” katanya.

Zainuri menambahkan, bila penyidik sudah mencium adanya permainan dalam penetapan pasal oleh Cirus kepada Gayus. “Bau busuknya sudah tercium, tapi bangkainya belum ada. Jadi penyidik masih mencari alat bukti.”

Komentar Mas Guru : Cara penanganan Cirus dengan Susno beda banget tuh. Mas Guru yakin, orang paling goblok pun di Endonesya ini tahu muasal perbedaan tsb. Iya to ?

Sunday, May 2, 2010

Memberi Efek Jera Koruptor dengan Kerja Sosial

Liputan6.com, Medan: Wacana penambahan hukuman kerja sosial bagi koruptor diminta segera direalisasikan karena dapat memberi efek jera dan malu. "Dengan hukuman kerja sosial, koruptor sekaligus mendapat sanksi sosial dari masyarakat," kata praktisi hukum Abdul Hakim Siagian di Medan, Sumatra Utara, Ahad (2/5).Abdul Hakim yang juga advokat mengaku sependapat dengan wacana yang dimunculkan Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar yang menyatakan bahwa seorang koruptor harus dimiskinan. Menurut mahasiswa S3 ilmu hukum di Universitas Sumatra Utara Medan itu pemiskinan adalah salah satu upaya terbaik memberantas korupsi.

Mengenai hukum mati, Abdul Hakim mengaku tidak sependapat. Menurut dia, hukuman terbaik bagi koruptor dengan dimiskinkan atau diharuskan melakukan kerja sosial di tengah-tengah masyarakat. "Akan lebih baik jika kombinasi keduanya. Jadi, tak ada lagi koruptor yang tetap kaya-raya setelah keluar penjara," ujarnya.

Menurut dia, para koruptor rata-rata merupakan kalangan intelektual yang memiliki keahlian. Tak sedikit di antara mereka yang punya jenjang pendidikan tertinggi doktor dan bahkan profesor. "Mereka adalah orang-orang ahli di bidang masing-masing," kata dia. Dengan hukuman kerja sosial, keahlian mereka tak akan mati.

Abdul Hakim menyatakan mendukung pembuktian secara perdata dan pembuktian terbalik penanganan kasus korupsi. "Harus diakui proses hukum kita banyak yang rekayasa dan salah sehingga hukuman mati agaknya belum bisa diterapkan meski akan memberi efek jera," kata mantan anggota DPRD Sumut periode 2004-2009.

Sumber : http://id.news.yahoo.com/lptn/20100502/tpl-memberi-efek-jera-koruptor-dengan-ke-b03a71c.html

Komentar Mas Guru : Kayaknya ide ini perlu segera diterapkan, karena hukuman badan di bui ternyata tidak membawa efek jera para koruptor dan calon koruptor. Buktinya : meski sudah banyak koruptor yang dibui, tetapi orang masih tetap saja berani melakukan korupsi.