Sunday, April 26, 2009

Menjadi Oposisi yang Sehat

Usai pemilu legislatif, setelah semua partai hampir bisa memastiken jumlah perolehan suara yang mereka dapet, maka babak baru drama politik kita dimulai. Sejumlah partai mulai melakuken pendekatan-pendekatan dengan partai laen. Istilah mereka penjajagan kolalisi untuk persiapan pilpres mendatang. Perilaku memuakkan mulai timbul manakala partai-partai yang tidak punya visi sama ternyata bisa saling mepet untuk sekadar berbagi kekuasaan. Artinya, idealisme mereka pun digadaikan demi mendapet kue kekuasaan, yang disekitarnya berhamburan berbagai fasilitas.

Mas Guru jadi berpikir ternyata garis dan misi partai yang mereka gembar-gemborken selama pemilu legislatif kemaren hanya nggedobos alias nggedabrus. Bukan membela kepentingan rakyat yang mereka perjuangken, tapi kekuasaanlah yang mereka kejar.

Mestinya partai-partai yang diperkiraken ndak bisa menang di pilpres nanti ndak perlu mepet-mepet ke 'calon pemenang pilpres' jika saja mereka ndak kemaruk kekuasaan, apalagi jika visi dan garis perjuangan partainya ndak sama. Barangkali akan lebih gagah kalo mereka ini menyiapken diri menjadi partai oposisi yang nanti berperan sebagai kontrol bagi pemerintah. Ini akan lebih baek bagi kesehatan kehidupan negara kita.

Itulah inti dari gagasan yang dikemukaken oleh Jafar M. Sidik di harian Antara edisi Minggu, 26 April 2009.

Parpol Semestinya Juga Siap Menjadi Oposisi

Jakarta (ANTARA News) - Dari rangkaian manuver elite politik pada pekan-pekan terakhir setelah Pemilu Legislatif 2009 dilaksanakan, hanya sedikit partai politik yang berani menyiapkan skenario menjadi oposisi.

Yang justru mendominasi ruang publik adalah menyeret publik untuk bersetuju pada hanya pendekatan dan laku pragmatis nan seragam elite bahwa demokrasi dan kekuasaan itu melulu tentang memerintah.

Padahal, efektivitas politik tidak melulu dipahami dari sisi eksekusi kekuasaan yang adalah ranah eksekutif, namun juga bertalian dengan sistem pengawasan dan pilihan-pilihan dari fungsi legislatif sehingga eksekutif berada di relnya.

Untuk itu pula, mungkin menjadi tak terlalu tepat menyebut keberhasilan nasional sebagai hanya capaian eksekutif karena kontrol oposisi di parlemen juga berperan dalam membuat kebijakan menjadi lebih tepat sasaran dan terminimalkannya potensi penyimpangan.

Mengutip Gerald Schmitz dalam "The Challenge of Democratic Development: Sustaining Democratization in Developing Societies," oposisi akan menjamin keabsahan sistem demokrasi secara keseluruhan, selain menjaga pemerintah tidak keluar dari pakemnya, diantaranya konstitusi.

Gerald menyatakan, oposisi yang efektif akan menjamin hadirnya pemerintahan yang kuat, tetapi tentu saja bukan oposisi yang asal mengkritik kebijakan pemerintah.

Dalam kaitan ini, teorisi politik Waldemar Besson dan Gotthard Jasper menyatakan, kehadiran oposisi adalah untuk mencegah kelompok penguasa mengidentikan diri sebagai negara dan memaklumatkan bahwa tafsir penguasa mengenai kepentingan publik sebagai satu-satunya yang berlaku di masyarakat.

Dalam "Das Leitbild der Modernen Demokratie" terbitan 1965, kedua ilmuwan politik Jerman ini menyatakan, oposisi berperan dalam mendewasakan kehidupan politik lewat perannya sebagai kekuatan pencegahan, kekuatan alternatif dan pengawas sistem kebijakan.

Sebagai pencegahan, oposisi berperan dalam menghindari manipulasi kekuasaan dan mencegah kebebasan yang kebablasan berubah menjadi anarki dan despotis, sedangkan sebagai kekuatan alternatif, oposisi memberi rakyat pilihan-pilihan manakala sistem eksekusi kebijakan yang sedang berlaku tidak lagi menyuarakan mayoritas.

Fungsi terakhir, pengawasan dan supervisi pemerintahan, berarti bahwa oposisi berkemampuan mempengaruhi proses legislasi sehingga produk hukum didedikasikan untuk semua lapisan karena semua kesepakatan mengenai pensahan prodil hukum, membutuhkan persetujuan oposisi.

Fungsi terakhir ini bahkan memungkinkan kritik dan argumentasi yang disuarakan oposisi berperan penting dalam mencegah kebijakan yang diambil pemerintah tidak menjadi terkesan partisan.

Mendewasakan

Dari pandangan itu, adalah baik bagi parpol untuk mengajari publik bahwa kekuasaan efektif, pemajuan bangsa dan pendewasaan politik itu berkaitan dengan hadirnya oposisi yang kuat. Kekuasaan dan demokrasi yang berkualitas itu mensyaratkan hadirnya oposisi yang kuat.

"Semua pemerintahan memerlukan oposisi yang kuat," kata politisi terkenal Australia, Bob Carr, seperti dikutip AAP 16 Juni tahun lalu.

Perpolitikan Korea Selatan, Taiwan, Inggris, Jerman dan hampir semua negara Uni Eropa termasuk Turki, bahkan Brazil, menunjukkan bahwa oposisi yang kredibel dan berani menawarkan alternatif adalah jaminan bagi perkuatan politik madani dan masyarakat yang tercerdaskan sikap politiknya.

Hasil Pemilu Legislatif 9 April lalu sendiri, terlepas klaim sejumlah kalangan bahwa pemilu berlangsung curang, menunjukkan bahwa kedewasaan politik publik bertambah besar.

Meski lebih merupakan jawaban terhadap laku dan manuver pelaku politik selama ini, pada beberapa hal perpolitikan nasional mampu mendewasakan publik di mana orang kini berani mengoreksi jalannya perpolitikan lewat perubahan pilihan.

Fakta bahwa rakyat lebih memilih selibritis dan lambang partai --karena kuatnya asosiasi partai dengan tokoh atau sentimen kelompok-- bisa dianggap sebagai kritik terhadap fungsi parpol dan kelembagaan politik yang gagal menawarkan tokoh berkompetensi tinggi dan jika ada pun gagal dikomunikasikan kepada publik.

Dengan asumsi komposisi suara hasil pemilu konstan, maka terlihat ada peningkatan kedewasaan memilih, tetapi di sisi lain ada kecenderungan stagnasi dan bahkan degradasi kualitas politik, tak hanya menyangkut output tapi juga proses.

Saat hendak ditarik ke pragmatisme --diantaranya dengan maklumat berulang-ulang bahwa politik itu dinamis yang justru dipahami publik sebagai upaya menutup hasrat berburu kekuasaan-- sebagian besar rakyat malah menolaknya.

Fenomena tidak terpilihnya caleg yang hanya mengandalkan uang sehingga hanya menunjukkan kekerdilan berpolitik karena tanpa malu bantuan ditarik lagi begitu mengetahui suara tidak cukup, adalah bukti bahwa rakyat mehamami dan membaca apa yang bakal mereka dapatkan dari pilihannya.

Mereka kini tidak lagi memilih hanya untuk kepentingan satu dua hari, tetapi untuk keselamatan sosial, ekonomi dan politik jangka panjang mereka. Mungkin, tingginya angka golput berelasi dengan tumbuhnya pandangan kritis mengenai relevansi pilihan dengan jaminan masa depan itu.

Dalam kerangka ini pula, tidak berlebihan jika sekaranglah masanya bagi parpol dan elite politik untuk menunjukkan, meyakinkan dan makin mencerdaskan publik bahwa demokrasi adalah perpaduan antara kritik dan kerja, antara pengawasan dan mengeksekusi kebijakan, antara oposisi yang kredibel dan pemerintahan yang kuat.

Publik mesti diajak memahami bahwa, baik berkuasa maupun menjadi oposisi, adalah sama pentingnya dalam kerangka pemajuan kehidupan berdemokrasi.

"Menjadi oposisi, memperkuat kelembagaan di DPR, tidak kalah terhormat dengan menjadi lembaga eksekutif," kata Yudi Chrisnandy, kader Golkar, di sela rapat pimpinan nasional khusus Partai Golkar seperti dikutip Kompas.com, Kamis (23/4).